Latest News

Tuesday, July 9, 2013

Mengenal Upacara Tedhak Siten

Tedhak Siten atau Turun Tanah adalah suatu prosesi untuk menandakan anak saatnya mulai belajar berdiri dan berjalan, biasanya diadakan ketika anak telah berusia 7bulan ke-atas. Menurut hitungan Jawa, usia satu bulan bayi adalah 35 hari jadi perhitungannya 35 X 7 atau 245 hari dalam hal ini biasanya praktek acara Turun Tanah adalah dari anak usia 7 hingga 8 bulan. Jadi merupakan prosesi bersyukur kepada Tuhan sebab anak telah tumbuh dan berkembang hingga saatnya belajar berdiri dan berjalan.

Di usia ini biasanya anak secara perkembangan mulai belajar berdiri dan berjalan meskipun masih perlu dititah atau masih dituntun dan dibimbing kita orang dewasa, mulai diperkenalkan tanah sebagai tempat dia berpijak dihari kemudian.

Berikut ini adalah rangkaian acara Tedhak Siten serta hal-hal apa saja yang mendukung jalannya acara serta sedikit pengertian tentang makna dan arti dari prosesi serta kelengkapannya.

* Anak dituntun menginjak tanah kemudian kakinya dibasuh dengan air bersih artinya adalah telah waktunya anak untuk belajar berdiri dan berjalan serta mengenal tanah sebagai pijakan.

* Kemudian anak dituntun untuk menginjak �jadah� atau �tetel� sebanyak 7 warna yang artinya anak diharapkan mampu untuk mengatasi segala masalah dan kesulitannya, demikian urutan warnanya merah = berani; putih = suci; jingga = matahari, kekuatan; kuning = terang, jalan lurus; hijau = alam, lingkungan; biru = angkasa, ketenangan; ungu = kesempurnaan, utuh.

* Lalu anak dituntun menaiki tangga tebu �ireng� atau tebu �arjuna� yang terdiri dari 7 anak tangga kemudian dibopong oleh ayah setinggi-tingginya artinya diharapkan kesuksesan sang anak makin tinggi dan makin naik.

* Anak setelah itu dimasukan ke dalam kurungan ayam yang berarti anak diharapkan tidak meninggalkan agama - adat budaya - serta tata krama lingkungan ==> dalam kurungan telah diberikan macam2 isian yang akan dipilih oleh anak, karenanya barang2 yang disiapkan bermakna bagus dan baik seperti buku - pensil - emas - kapas - wayang - mainan dokter - mainan elektronik dsb.

* Kemudian anak dimandikan air bunga, mawar - melati - kanthil - kenanga yang artinya diharapkan sang anak membawa nama baek dan mengharumkan nama keluarga.

* Kemudian memotong tumpeng dan dibagikan, artinya anak agar mau berbagi dengan sesama, tumpeng terdiri dari nasi = dekat kepada sang pencipta; ayam = kemandirian; kacang panjang = umur panjang; kangkung = berkembang; kecambah = subur; kluwih = rejeki yang melimpah serta pala pendem = andap asor dan tidak sombong.

* Lalu menyebarkan uang logam recehan dan beras kuning untuk diperebutkan, artinya anak kelak suka menolong dan dermawan, ikhlas suka berbagi mau membantu orang lain.

* Selain tumpeng, dipersiapkan pula �bubur� atau �jenang merah-putih� yang artinya anak terdiri dari darah-daging dan tulang yang berasal dari kedua orang tua-nya serta jajanan pasar seperti lopis - cenil - ketan ireng - tape ketan - jagung blendung - tiwul - gatot dan semacamnya yang berarti dalam kehidupan pasti akan ada warna-warni serta bermacam kejadian dan peristiwa.

Sumber :
http://aqiqahcatering.com/tag/acara-tedhak-siten/

Tuesday, July 2, 2013

Tentang Rumah Gadang Minangkabau

Di Minangkabau rumah tempat tinggal, dikenal dengan sebutan rumah gadang (besar). Besar bukan hanya dalam pengertian fisik tetapi lebih dari itu, yaitu dalam pengertian fungsi dan peranannya yang berkaitan dengan adatnya. Bila diperhatikan rumah tempat kediaman bagi suatu daerah erat sekali hubungannya dengan faktor alam dan adat atau lingkungan rumah itu didirikan. Daerah yang berawa-rawa, banyak sungai, ada gangguan binatang buas dll kecenderungan rumah didirikan dengan tiang yang tinggi dan besar. Dengan bertiang tinggi dan rumah panggung bisa terhindar dari segala macam bahaya seperti bencana alam dan gangguan lainnya.

Beberapa hal yang berkaitan dengan rumah gadang ini adalah sbb:

1. Mendirikan Rumah Gadang
Rumah gadang didirikan diatas tanah kaum yang bersangkutan. Jika hendak mendirikan, penghulu dari kaum tersebut mengadakan musyawarah terlebih dahulu dengan anak kemenakannya. Setelah dapat kata sepakat dibawa kepada penghulu-penghulu yang ada dalam pesukuannya, seterusnya dibawa pada penghulu-penghulu yang ada di nagarinya.

Untuk mencari perkayuan ke hutan diserayakan orang kampung dan sanak keluarga. Tempat mengambil kayu pada hutan ulayat nagari. Tukang yang mengerjakan rumah tsb berupa bantuan dari tukang-tukang yang ada dalam nagari atau diupahkan berangsur-angsur. Rumah yang dibangun diperuntukkan pada keluarga perempuan, sedangkan untuk laki-laki dibangun rumah pembujangan dan setelah Islam masuk ada surau. Walaupun rumah itu diperuntukkan bagi perempuan namun yang berkuasa adalah penghulu dan yang bertanggungjawab langsung pada rumah gadang tsb adalah tungganai.
Bila rumah gadang itu sudah usang dan perlu perbaikan maka seluruh anggota kaum mengadakan mufakat.

Seandainya rumah gadang itu akan dibuka lantaran tidak mungkin untuk diperbaiki, maka harus setahu orang kampung atau senagari dan terutama penghulu-penghulu yang ada di nagari tsb.

Tidak semua keluarga diperbolehkan mendirikan rumah gadang dan ini harus mempunyai syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu antara lain kaum yang akan mendirikan rumah gadang itu merupakan kaum asal di kampung tsb yang mempunyai status adat dalam suku dan nagarinya. Walaupun sebuah kaum itu kaya, tetapi dia adalah keluarga pendatang baru yang tidak mempunyai status adat dalam suku dan nagari tersebut tidak dibenarkan mendirikan rumah gadang.

Walaupun demikian kemufakatan dari penghulu-penghulu yang ada pada suku dan nagari sangat menentukan apakah sebuah kaum itu dibenarkan mendirikan rumah gadang atau tidak.

Dilihat dari cara membangun, memperbaiki dan membuka rumah gadang adanya unsur kebersamaan dan kegotongroyongan sesama anggota masyarakat tanpa mengharapkan balas jasa. Fungsi sosial sangat diutamakan dari fungsi ekonominya. Walaupun rumah gadang itu milik dan didiami oleh anggota kaum namun pada prinsipnya rumah gadang itu adalah milik nagari karena mendirikan sebuah rumah gadang didasarkan atas ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di nagari itu dan setahu penghulu-penghulu untuk mendirikannya atau membukanya.

2. Fungsi Rumah Gadang
Rumah gadang berfungsi sebagai tempat tinggal dan sebagai inggiran adat. Ukuran ruang tergantung daripada banyaknya penghuni dirumah itu. Namun jumlah ruangnya biasanya ganjil spt lima ruang, sembilan ruang dan malahan ada yang lebih. Sebagai tempat tinggal rumah gadang mempunyai bilik-bilik sebelah barisan belakang yang didiami oleh anak-anak wanita yang sudah berkeluarga, ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak.

Yang penting lagi fungsi rumah gadang adalah sebagai inggiran adat, mengerjakan suruhan, menempatkan adat atau tempat melaksanakan seremonial adat seperti kematian, kelahiran, perkimpoian, mendirikan kebesaran adat, tempat mufakat, sepanjang adat dll.

Perbandingan ruang tempat tidur dengan ruangan umum adalah 1/3 untuk ruangan tidur dan 2/3 untuk kepentingan umum. Perbandingan ini memberi makna bahwa kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan pribadi.

3. Pola Rumah Gadang
Rumah gadang Minangkabau berbentuk kapal yaitu kecil kebawah dan besar ke atas. Bentuk atapnya punya bubungan yang lengkung ke atas yaitu lebih kurang setengah lingkaran. Denah dasar berbentuk empat persegi panjang dan lantai berada diatas tiang-tiang. Tangga tempat masuk berada ditengah-tengah dan merupakan serambi muka. Ada juga yang membuat sebuah ujung, ditempat mana biasanya terdapat dapur.

Rumah adat Minangkabau tidak mempunyai ukuran yang pasti dengan memakai meter. Panjang dan lebar rumah ditentukan dengan labuh (jalur) dan yang biasa dijadikan ukuran adalah hasta atau depa. Lebar ruang atau labuh (jarak antara tiang menurut lebar dan panjang) bervariasi antara 2 1/2 m sampai 4 m. Panjang rumah sekurang-kurangnya 3 ruang dan bahkan ada yang sampai 21 ruang, yang normal 3,7,9 ruang. Sedangkan lebarnya sekuang-kurangnya 3 jalur dan sebanyak-banyaknya 4 jalur. Ukuran tidak dimakan siku, tetapi disebut ukuran alur dan patut. Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak.

Jalur atau labuh memanjang rumah. jalur pertama dari muka disebut bandua tapi, jalur kedua disebut labuah gajah. Jalur ketiga disebut labuah tangah, sedangkan jalur keempat disebut Biliak. Ruangan terletak pada potongan rumah menurut lebar rumah. Satu ruang ditengah dinamakan "Gajah maharam (gajah mengeram). Dua ruang dikri disebut sarambi papek dan dua ruang ke kanan disebut raja berbanding.
pada ujung kiri dan kanan ada anjungan dan terdiri dari tiga tingkat banyaknya sekurang-kurangnya dua tingkat. Anjung merupakan tangga yang terletak pada tengah bagian lebar rumah.

4. Tonggak
Tonggak dari bahan kayu bersegi delapan dan panjang tiang tidak sama, tiang-tiang berbaris/berjajar. Banjar muka dan banjar belakang rendah. Banjar barisan nomor dua dari muka dan belakang lebih tinggi dan banjar/barisan di tengah yang paling tinggi.

5. Rasuk
Antara tiang dengan tiang membujur dan membelintang dihubungkan oleh rasuk pelancar. Rasuk melintang melalui pahatan pada tiang. Rasuk bahannya dari ruyung batang kelapa atau dari kayu hutan yang keras. Pahatan lebih kurang 2m dari dasar atau sendi. Pahatan tiang yang sama tingginya pada setiap tiang adalah untuk pahatan rasuk pelancar. Di atas rasuk melintang berada di bawah pahatan rasuk pelancar. Rasuk melintang ditopang dengan ruyung yang sama tebalnya dengan rusuk melintang hingga mengenai tinggi pahatan rasuk pelancar. Diatas singgiran disusun jeriau lantai, hingga lantai menjadi datar.

6. Sandi
Setiap kaki tonggak berdiri diatas sebuah batu yang disebut dengan sandi. Sandi batu didatangkan kemudian setelah semua tiang dihubungkan oleh rasuk dan paran-paran. Paran, ialah sebuah kayu atau ruyung panjang dari pohon kelapa yang menghubungkan setiap tiang pada ujung atas. Sama dengan rasuk. Ada yang disebut paran panjang dan paran melintang. Punco-punco tiang yang dihubungkan oleh paran panjang tidak pula sama tingginya hingga terlihat lengkungnya atau disebut paran ular mangulai (mengulai). Lengkung paran inilah yang akan membentuk gonjong (pucuk atap).

7. Lantai
Rumah gadang dilantai dengan papan. Lantai papan dipasang diatas jeriau dan adakalanya lantai dibuat dari pelupuh (bambu yang dipecah). Untuk lantai rumah gadang ini ungkapan adatnya mengatakan "lantai banamo hamparan adat, tampek si janang main pantan, tampek penghulu main undang. Lantai rumah gadang ada dua jenis bila dilihat dari bentuknya.

Perbedaan dari jenis lantai ini sebagai membedakan rumah gadang Bodi Caniago dengan rumah gadang Koto Piliang. Lantai datar untuk semua bidang merupakan jenis Bodi Caniago. Semua penghulu yang duduk sama martabatnya, dengan kata-kata adatnya duduak samo randah, tagak samo tinggi. Sedangkan pada adat Koto Piliang lantainya bertingkat atau beragam, lantainya setingkat lebih tinggi dari lantai bandul gajah dan bendul tepi. Penghulu-penghulu yang duduk dari Kelarasan Koto Piliang di rumah gadang sesuai dengan tingkatannya.

8. Anjung
Anjung adalah ruangan yang lantainya bertingkat dua atau tiga pada ujung pangkal rumah, yaitu ruangan yang menyambung dan disebut raja berbanding dan serambi papek (pepat). Anjung adalah tempat mulia dan terhormat.

9. Atap
Atap rumah gadang dari bahan ijuk, dipasang diatas kap yang diatur terletak diatas paran yang melengkung kira-kira setengah lingkaran dan seperempat dari lingkaran dari paran tinggi ketuturan (kedua belah sisi bidang atap). Kap dibuat berpucuk (gonjong) dan sekurangnya empat buah yang membagi panjang rumah. Dua gonjong ditengah berbentuk setengah lingkaran, yang dua lagi menyusul kiri kanan mengikuti lengkung pertama. Selanjutnya gonjong ruangan ujung-ujung kiri dan kanan mengikuti lengkung sebelumnya hingga gonjong menjadi enam buah.

Bila rumah gadang ini mempunyai serambi maka ditambah lagi satu gonjong serambi yang menyatu dengan gonjong tangga. Gonjong serambi dibuat ditengahruang ganjil yang menyatu antara serambi papek dengan raja berbanding atau sejalan dengan ruangan gajah mengeram. Gonjong serambi mengahadap ke pekarangan. Gonjong disebut juga rabuang mambasuik. Pimpinan lentik seperti ular gerang. Pimpiran adalah bahagian pinggiran atap yang ditebalkan pasangan ijuknya dan diukir atau diikat dengan tali ukiran berwarna perak. Pimpiran membujur metik mulai dari tuturan yang seklaigus menjadi tulang untuk menopang gonjong. Tuturan adalah pinggiran atap yang terendah dan tempat air hujan menyatu jatuh ke tanah.

Untuk naik rumah gadang ada tangga; jumlah anak tangga mempunyai bilangan ganjil dan biasanya 5,7 dan 9. Kata-kata adatnya mengatakan 'turun dari tanggo, naiak dari janjang. Maksudnya dalam membicarakan sesuaru persoalan yang erat hubungannya dengan adat hendaklah melalui tingkatan-tingkatan yang sudah diatur sedemikian rupa. Sebagai contoh untuk mengangkat seorang penghulu bicarakanlah terlebih dahulu pada tingkat kaum, setelah itu baru dibawa ketingkat suku dst ke tingkat nagari. Sebaliknya bertangga turun bila ada sesuatu yang akan disampaikan oleh hasil Kerapatan Adat Nagari maka penyampaiannya kepada anak keponakan tidak secara langsung tetapi melalui penghulu-penghulu suku, tungganai, mamak rumah dst.

Sumber :
http://www.allaboutminangkabau.com/2013/02/rumah-gadang.html