Latest News

Sunday, January 29, 2012

Rumah Adat Jawa Tengah (joglo)

Sejak abad ke 7, banyak terdapat pemerintahan kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah, yaitu: Kerajaan Budha Kalingga, Jepara yang diperintah oleh Ratu Sima pada tahun 674. Menurut prasasti Canggah tahun 732, kerajaan Hindu lahir di Medang, Jawa Tengah dengan nama Raja Sanjaya atau Rakai Mataram. Dibawah pemerintahan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya, ia membangun Candi Rorojonggrang atau Candi Prambanan. Kerajaan Mataram Budha yang juga lahir di Jawa Tengah selama era pemerintahan Dinasti Syailendra, mereka membangun candi-candi seperi Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Kalasan dll.

Pada abad 16 setelah runtuhnya kerajaan Majapahit Hindu, kerajaan Islam muncul di Demak, sejak itulah Agama Islam disebarkan di Jawa Tengah. Setelah kerajaan Demak runtuh, joko Tingkir anak menantu Raja Demak memindahkan kerajaan Demak ke Pajang. Dan menyatakan diri sebagai Raja Kerajaan Pajang dan bergelar Sultan Adiwijaya. Selama pemerintahannya terjadi kerusuhan dan pemberontakan. Perang yang paling besar adalah antara Sultan Adiwijaya melawan Aryo Penangsang. Sultan Adiwijaya menugaskan Danang Sutowijaya untuk menumpas pemberontakan Aryo Penangsang dan berhasil membunuh Aryo Penangsang. Dikarenakan jasanya yang besar kepada Kerajaan Pajang, Sultan Adiwijaya memberikan hadiah tanah Mataram kepada Sutowijaya. Setelah Pajang runtuh ia menjadi Raja Mataram Islam pertama di Jawa Tengah dan bergelar Panembahan Senopati.

Di pertengahan abad 16 bangsa Portugis dan Spanyol datang ke Indonesia dalam usaha mencari rempah-rempah yang akan diperdagangkan di Eropa. Pada saat yang sama, bangsa Inggris dan kemudian bangsa Belanda datang ke Indonesia juga. Dengan VOC-nya bangsa Belanda menindas bangsa Indonesia termasuk rakyat Jawa Tengah baik dibidang politik maupun ekonomi.

Di awal abad 18 Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Pakubuwono II, setelah beliau wafat muncul perselisihan diantara keluarga raja yang ingin memilih raja baru. Perselisihan bertambah keruh setelah adanya campur tangan pemerintah Kolonial Belanda pada perselisihan keluarga raja tersebut. Pertikaian ini akhirnya diselesaikan dengan Perjanjian Gianti tahun 1755. Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua kerajaan yang lebih kecil yaitu Surakarta Hadiningrat atau Kraton Kasunanan di Surakarta dan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kraton Kasultanan di Yogyakarta.
Sampai sekarang daerah Jawa Tengah secara administratif merupakan sebuah propinsi yang ditetapkan dengan Undang-undang No. 10/1950 tanggal 4 Juli 1950.

Jawa Tengah sebagai salah satu Propinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Propinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur.

Secara administratif Propinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 Kabupaten dan 6 Kota.

Rumah Adat
Berdasarkan sejarah, perkembangan bentuk rumah tinggal orang jawa dapat dikategorikan menjadi 4 macam yaitu rumah tradisional:

*bentuk Panggangpe
*bentuk Kampung
*bentuk Limasan
*bentuk Joglo

Dibanding bentuk lainnya, rumah bentuk joglo lebih dikenal masyarakat pada umumnya.

Rumah Joglo kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. karena rumah joglo butuh bahan lebih banyak dan mahal ketimbang rumah bentuk lain. Masyarakat jawa dulu menganggap bahwa rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh sembarang orang, oleh orang kebanyakan, tapi hanya diperkenankan bagi kaum bangsawan, raja, dan pangeran, serta mereka yang terhormat dan terpandang. Namun dewasa ini rumah joglo digunakan pula oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan serta perkantoran.

Pada dasarnya rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar, dengan empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang di sebut tumpangsari. Bentuk persegi empat ini dalam perkembangannya mengalami perubahan dengan adanya penambahan-penambahan ruang di sisi bangunannya namun tetap merupakan kesatuan bentuk dari denah persegi empat.

Padepokan Jawa Tengah merupakan sebuah bangunan induk istana Mangkunegaran di Surakarta. Rumah penduduk dan keraton di Jawa Tengah umumnya terdiri atas 3 ruangan. Pendopo. Pringgitan, dan Dalem.

Sumber : http://heydiz.wordpress.com/2010/10/01/rumah-adat-jawa-tengah-joglo/

Friday, January 20, 2012

Rumah Adat Mamasa

Rumah adat Mamasa memiliki kemiripan dengan rumah adat Toraja mengapa bisa ya? menurut sejarahnya kedua etnik tersebut berasal dalam satu rumpun berikut beberapa rumah adat yang ada di Mamasa Sulbar.

1. Banua Layuk
Berasal dari kata �Banua� berarti rumah; kata �Layuk� berarti tinggi, maka �Banua Layuk� artinya �Rumah Tinggi�, yang sangat berukuran besar dan tinggi, biasanya pemilik rumah tersebut merupakan pemimpin dalam masyarakat atau bangsawan.

2. Banua Sura
Kata �Sura� berarti �Ukir� jadi �Banua Sura� berarti �Rumah Ukir�, besar dan tingginya tidak seperti banua layuk. Penghuni daripada rumah merupakan pemimpin dalam masyarakat dan bangsawan.

3. Banua Bolong
Kata �Bolong� berarti �Hitam�. Rumah ini dihuni oleh orang kaya dan pemberani dalam masyarakat.

4. Banua Rapa
Rumah Mamasa dengan warna asli (tidak diukir dan tidak dihitamkan), dihuni oleh masyaraakt biasa.

5. Banua Longkarrin
Rumah Mamasa yang bagian tiang paling bawah bersentuhan dengan tanah dialas dengan kayu (longkarrin), dihuni juga oleh masyarakat biasa.

Rumah adat Mamasa bernama Banua Layuk yang berlokasi di Rantebuda, Buntukasisi. Orobua, dan Tawalian kesemuanya dalam wilayah Kecamatan Mamasa. Rumah adat Mamasa merupakan simbol eksistensi suku toraja mamasa saat ini, yang semakin lama semakin terkikis oleh arus perubahan jaman. Pada dasarnya rumah adat Mamasa hampir mirip dengan rumah adat Toraja, perbedaannya yaitu rumah adat mamasa memiliki atap kayu yang berat dengan bentuk yang tidak terlalu melengkung sementara rumah adat Toraja memiliki atap kayu dengan bentuk seperti huruf �U�. Dan selain itu, masyarakat Mamasa tidak memiliki terlalu banyak upacara adat sebagaimana di Toraja.

Secara struktur Banua Layuk yang terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan, dan kolong (rumah panggung), Secara fungsional bentuk rumah panggung dapat digunakan untuk menghindari gangguan binatang buas, lantai dapat menampung hawa panas di malam hari, sehingga cocok untuk daerah dingin, dan kolong dapat berfungsi praktis.

Banua layuk sebagai rumah adat sarat dengan makna simbolik sebagai cerminan dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh masayarakatnya. Simbol-simbol tersebut ditemukan pada struktur, ukiran, dan unsur-unsur lainnya yang terdapat pada banua layuk.

Sumger : http://mamasa-online.blogspot.com

Tuesday, January 17, 2012

Rumah Tradisional Melayu Aceh di Provinsi Aceh

1. Asal-Usul

Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.

Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.

Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka�bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.

Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.

Keberadaan Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.

2. Bahan-Bahan

Untuk membuat Rumoh Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah:

Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu digunakan untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya.
Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.
Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain sebagainya.
Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik.
Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap menggunakan daun enau.
Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding rumah, rak-rak, dan sanding.

3. Tahapan Pembangunan Rumah Rakit

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya. Oleh karena proses pembuatan Rumoh Aceh dilakukan secara cermat dengan berlandaskan kepada pengetahuan lokal masyarakat, maka Rumoh Aceh walaupun terbuat dari kayu mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya.

Adapun tahapan-tahapan pembangunan Rumoh Aceh adalah: (1) musyawarah, (2) pengumpulan bahan, (3) pengolahan bahan, dan (4) perangkaian bahan. Tahapan paling awal untuk mendirikan Rumoh Aceh adalah melakukan musyawarah keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan memberiatahukan rencana pendirian rumah tersebut kepada Teungku. Tujuannya adalah untuk mendapatkan saran-saran tentang apa yang harus dilakukan agar rumah yang dibangun dapat memberikan ketenangan, ketenteraman, dan sejahtera baik lahir maupun batin kepada penghuninya.

Setelah mendapatkan saran-saran dari Teungku, dilanjutkan dengan pengadaan bahan. Pengadaan bahan-bahan dilakukan secara gotong royong. Kayu yang baik adalah kayu yang tidak dililiti akar dan apabila kayu ditebang, rebahnya tidak menyangkut kayu yang lain. Kayu-kayu tersebut kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terlindung dari hujan. Jika waktu pembangunan masih lama, adakalanya bahan-bahan tersebut direndam terlebih dahulu di dalam air, tujuannya agar kayu-kayu tersebut tidak dimakan babuk.

Tahap berikutnya adalah mengolah kayu sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Setelah semuanya siap, maka dimulailah pendirian Rumoh Aceh. Pendirian awal Rumoh Aceh ditandai dengan pembuatan landasan untuk memancangkan kayu. Kayu yang pertama dipancangkan adalah tiang utama (tiang raja) dan dilanjutkan dengan tiang-tiang yang lain. Setelah semua tiang terpancang, dilanjutkan dengan pembuatan bagian tengah rumah, yang meliputi lantai rumah dan dinding rumah. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bagian atas rumah yang diakhiri dengan pemasangan atap. Bagian terakhir pembangunan Rumah Aceh adalah finishing, yaitu pemasangan ornamen pendukung seperti ragam hias dan sebagainya.

4. Bagian-Bagian Rumoh Aceh

Secara umum, terbagi atas tiga bagian, yaitu: bagian bawah, bagian tengah, dan bagian atas.

a. Bagian bawah
Bagian bawah Rumoh Aceh atau yup moh merupakan ruang antara tanah dengan lantai rumah. Bagian ini berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, kandang ayam, kambing, dan itik. Tempat ini juga sering digunakan kaum perempuan untuk berjualan dan membuat kain songket Aceh.

Bagian bawah Rumoh Aceh
Tempat ini juga digunakan untuk menyimpan jeungki atau penumbuk padi dan krongs atau tempat menyimpan padi berbentuk bulat dengan diameter dan ketinggian sekitar dua meter.

b. Bagian tengah
Bagian tengah Rumoh Aceh merupakan tempat segala aktivitas masyarakat Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini, secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.

Ruang depan (seuramo reungeun). Ruangan ini disebut juga Seuramou-keu (serambi depan). Disebut ruang atau serambi depan karena di sini terdapat bungeun atau tangga untuk masuk ke rumah. Ruangan ini tidak berkamar-kamar dan pintu masuk biasanya terdapat di ujung lantai di sebelah kanan. Tapi ada pula yang membuat pintu menghadap ke halaman, dan tangganya di pinggir lantai. Dalam kehidupan sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji. Pada saat-saat tertentu misalnya pada waktu ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan ini dipergunakan untuk makan bersama.

Ruangan tengah. Ruangan ini merupakan inti dari Rumoh Aceh, oleh karenanya disebut Rumoh Inong (rumah induk). Lantai pada bagian ini lebih tinggi dari ruangan lainnya, dianggap suci, dan sifatnya sangat pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri dan biasanya menghadap utara atau selatan dengan pintu menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik tersebut terdapat gang (rambat) yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang.

Gang yang memisahkan bilik kiri dan kanan berfungsi untuk menghubungkan ruang depan
dan ruang belakang

Fungsi Rumoh Inong adalah untuk tidur kepala keluarga, dan Anjong untuk tempat tidur anak gadis. Bila anak perempuannya kawin, maka dia akan menempati Rumah Inong sedang orang tuanya pindah ke Anjong. Bila anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke serambi atau seuramo likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau menambah/memperlebar rumahnya. Di saat ada acara perkawinan, mempelai dipersandingkan di Rumoh Inong, begitu pula bila ada kematian Rumoh Inong dipergunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.

Ruang belakang disebut seuramo likot. Lantai seuramo likot tingginya sama dengan seuramo rengeun (serambi depan), dan ruangan ini pun tak berbilik. Fungsi ruangan ini sebagian dipergunakan untuk dapur dan tempat makan,dan biasanya terletak di bagian timur ruangan. Selain itu juga dipergunakan untuk tempat berbincang-bincang bagi para wanita serta melakukan kegiatan sehari-hari seperti menenun dan menyulam.

Namun, adakalanya dapur dipisah dan berada di bagian belakang serambi belakang. Ruangan ini disebut Rumoh dapu (dapur). Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.

c. Bagian atas
Bagian ini terletak di bagian atas serambi tengah. Adakalanya, pada bagian ini diberi para (loteng) yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang keluarga. Atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.

5. Ragam Hias

Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu: (1) motif keagamaan. Hiasan Rumoh Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran; (2) motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah; (3) motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; (4) motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan (5) motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

6. Nilai-Nilai

Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.

Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat. Walaupun dalam perkembangannya dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara rumah dan Ka�bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Jika arah Rumoh Aceh menghadap ke arah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk Rumoh Aceh.

Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.

Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti Rumoh Inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki Rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke bangunan rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka �pantang dan tabu� bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.

Pintu utama rumah yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa, sekitar 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk, mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh, tidak peduli betapa tinggi derajat atau kedudukannya, harus menunduk sebagai tanda hormat kepada yang punya rumah. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas lantai. Ada juga yang menganggap bahwa pintu Rumoh Aceh diibaratkan hati orang Aceh. Memang sulit untuk memasukinya, tetapi begitu kita masuk akan diterima dengan lapang dada dan hangat.

Pelaksanaan upacara baik ketika hendak mendirikan rumah, sedang mendirikan, dan setelah mendirikan rumah bukan untuk memamerkan kekayaan tetapi merupakan ungkapan saling menghormati sesama makhluk Tuhan, dan juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas rizqi yang telah diberikan oleh Tuhan.

Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur Rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.

Sumber : http://rumahadat.blog.com/2011/06/21/rumoh-aceh/

Sunday, January 15, 2012

Rumoh Aceh

Nenek moyang kita sudah merancang bangunan yang peduli pada kondisi alam sekitarnya dengan membuat rumah yang tahan gempa.

Rumah tradisional Aceh oleh warga setempat disebut rumoh Aceh. Bentuknya seragam, yakni persegi empat memanjang dari timur ke barat. Konon, letak yang memanjang itu dipilih untuk memudahkan penentuan arah kiblat.

Dari segi ukir-ukiran, rumoh Aceh di tiap-tiap kabupaten di Provinsi NAD tidaklah sama. Masing-masing punya ragam ukiran yang berbeda.

Menurut Mohammad Isa, warga desa Lamsiem, saat ini jumlah rumah tradisional di kampungnya makin berkurang karena biaya yang diperlukan untuk membuat rumoh Aceh sudah jauh lebih mahal dibandingkan membangun rumah biasa/modern. Biaya perawatannya pun tak kalah menguras kantung.

Warga yang kebanyakan hidup sebagai pekerja, akhirnya memilih untuk membangun rumah modern. Kenyataan seperti itu sudah terjadi sejak 30 tahun lalu.

Padahal pada waktu lampau mayoritas warga di pemukiman rata-rata tinggal di rumah tradisional yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia itu. Bahkan mereka yang berkecukupan, menghias rumah kayunya dengan ukir-ukiran dan ornamen lain. Sedangkan warga yang hidup pas-pasan, cukup membangun rumah kayu tanpa ukiran dan ornamen.

Tidak aneh, sebab hingga 1980-an warga masih mudah mendapatkan kayu sehingga biaya untuk membangun rumoh Aceh waktu itu terjangkau. Tapi, saat ini biaya untuk membangun rumah tradisional sudah dua kali lipat dari biaya rumah modern.


Komponen utama

Meski di tiap kabupaten/kota detilnya berbeda, rumoh Aceh secara umum memiliki komponen utama yang sama. Komponen utama rumoh Aceh ini diungkap dalam buku Budaya Masyarakat Aceh. Komponen itu adalah:

-Seuramou-keu (serambi depan) , yakni ruangan yang berfungsi untuk menerima tamu laki-laki, dan terletak di bagian depan rumah. Ruangan ini juga sekaligus menjadi tempat tidur dan tempat makan tamu laki-laki.

-Seuramou-likoot (serambi belakang), fungsi utama ruangan ini adalah untuk menerima tamu perempuan. Letaknya di bagian belakang rumah. Seperti serambi depan, serambi ini juga bisa sekaligus menjadi tempat tidur dan ruang makan tamu perempuan.

- Rumoh-Inong (rumah induk), letak ruangan ini di antara serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang menghubungkan serambi depan dan serambi belakang.

- Rumoh-dapu (dapur), biasanya letak dapur berdekatan atau tersambung dengan serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.

- Seulasa (teras), teras rumah terletak di bagian paling depan. Teras menempel dengan serambi depan.

- Kroong-padee (lumbung padi), berada terpisah dari bangunan utama, tapi masih berada di pekarangan rumah. Letaknya bisa di belakang, samping, atau bahkan di depan rumah.

- Keupaleh (gerbang), sebenarnya ini tidak termasuk ciri umum karena yang menggunakan gerbang pada umumnya rumah orang kaya atau tokoh masyarakat. Gerbang itu terbuat dari kayu dan di atasnya dipayungi bilik.

- Tamee (tiang), kekuatan tiang merupakan tumpuan utama rumah tradisional ini. Tiang berbentuk kayu bulat dengan diameter 20-35 cm setinggi 150-170 cm itu bisa berjumlah 16, 20, 24, atau 28 batang. Keberadaan tiang-tiang ini memudahkan proses pemindahan rumah tanpa harus membongkarnya.


Di masa lalu, atap rumoh Aceh terbuat dari rumbia. Jika terjadi kebakaran, atap rumbia itu bisa diturunkan hanya dengan memotong salah satu tali pengikat yang terbuat dari rotan atau ijuk.

Dulu, di depan tangga menuju rumah, biasanya terdepat guci. Benda ini berfungsi untuk menyimpan air untuk cuci kaki setiap hendak masuk ke rumah.

Salah satu bagian yang juga penting pada rumoh Aceh adalah tangga. Biasanya, tangga rumah terletak di bawah rumah. Setiap orang harus menyundul pintu dengan kepala supaya terbuka dan bisa masuk.

Jumlah anak tangganya, selalu ganjil. Satu lagi yang khas dari rumoh Aceh adalah bangunan tersebut dibuat tanpa paku.

Untuk mengaitkan balok kayu yang satu dengan yang lain cukup digunakan pasak atau tali pengikat dari rotan atau ijuk. Sebagian masyarakat Aceh, kadang juga menjadikan pekarangannya sebagai tempat pemakaman. (by aergot.wordpress.com)



Sumber : http://rumahadat.blog.com/2011/06/21/rumoh-aceh/

Monday, January 9, 2012

Kajang Lako - Rumah Adat Jambi

Kajang Lako Rumah Orang Batin (Jambi)

Identitas Rumah Adat
Orang Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Jambi. Sampai sekarang orang Batin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan bangunan tua pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini.

Konon kabarnya orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah dari Koto Rayo. Ke 60 keluarga inilah yang merupakan asal mula Marga Batin V, dengan 5 dusun asal. Jadi daerah Marga Batin V itu berarti kumpulan 5 dusun yang asalnya dari satu dusun yang sama. Kelima dusun tersebut adalah Tanjung Muara Semayo, Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara Jernih. Daerah Margo Batin V kini masuk wilayah Kecamatan Tabir, dengan ibukotanya di Rantau Panjang, Kabupaten Sorolangun Bangko.

Pada awalnya orang Batin tinggal berkelompok, terdiri dari 5 kelompok asal yang membentuk 5 dusun. Salah satu perkampungan Batin yang masih utuh hingga sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang. Rumah-rumah di sana dibangun memanjang secara terpisah, berjarak sekitar 2 m, menghadap ke jalan. Di belakang rumah dibangun lumbung tempat menyimpan padi.

Pada umumnya mata pencaharian orang Batin adalah bertani, baik di ladang maupun di sawah. Selain itu, mereka juga berkebun, mencari hasil hutan, mendulang emas, dan mencari ikan di sungai.

Bentuk Rumah
Rumah tinggal orang Batin disebut Kajang Lako atau Rumah Lamo. Bentuk bubungan Rumah Lamo seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas. Tipologi rumah lamo berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran panjang 12 m dan lebar 9 m. Bentuk empat persegi panjang tersebut dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan ruangan yang disesuaikan dengan fungsinya, dan dipengaruhi pula oleh hukum Islam.

Sebagai suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa bagian, yaitu bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang, lantai, tebar layar, penteh, pelamban, dan tangga.

Bubungan/atap biasa juga disebut dengan �gajah mabuk,� diambil dari nama pembuat rumah yang kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya. Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong jerambah. Atap dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua. Dari samping, atap rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan, mempermudah sirkulasi udara, dan menyimpan barang.

Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.

Dinding/masinding rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri bangunan, berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga setiap orang yang masuk ke rumah harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada si empunya rumah. Pintu masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di ruang tamu. Pintu ini dapat digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi terutama pada waktu berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang ada di bawah untuk mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum. Pintu balik melintang adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu itu digunakan oleh pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik pandai.

Adapun jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang masing-masing 4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan.

Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.

Tebar layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk menahan tempias air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas bangunan. Bahan yang digunakan adalah papan.

Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di bagian atas bangunan.

Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian rumah terdepan yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan tambahan/seperti teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu yang belum dipersilahkan masuk.

Sebagai ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam tangga. Yang pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah kanan pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.

Susunan dan Fungsi Ruangan
Kajang Lako terdiri dari 8 ruangan, meliputi pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas/penteh, dan ruang bawah/bauman.

Yang disebut pelamban adalah bagian bangunan yang berada di sebelah kiri bangunan induk. Lantainya terbuat dari bambu belah yang telah diawetkan dan dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah.

Ruang gaho adalah ruang yang terdapat di ujung sebelah kiri bangunan dengan arah memanjang. Pada ruang gaho terdapat ruang dapur, ruang tempat air dan ruang tempat menyimpan.

Ruang masinding adalah ruang depan yang berkaitan dengan masinding. Dalam musyawarah adat, ruangan ini dipergunakan untuk tempat duduk orang biasa. Ruang ini khusus untuk kaum laki-laki.

Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah bangunan. Antara ruang tengah dengan ruang masinding tidak memakai dinding. Pada saat pelaksanaan upacara adat, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita.

Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Batin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Bagian-bagian dari ruang ini adalah ruang makan, ruang tidur orang tua, dan ruang tidur anak gadis.

Selanjutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini berada di ujung sebelah kanan bangunan menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai ruangan ini dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena dianggap sebagai ruang utama. Ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruang balik melintang adalah 2�9 m, sama dengan ruang gaho.

Rumah lamo juga mempunyai ruang atas yang disebut penteh. Ruangan ini berada di atas bangunan, dipergunakan untuk menyimpan barang. Selain ruang atas, juga ada ruang bawah atau bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan, memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya.

Ragam Hias
Bangunan rumah tinggal orang Batin dihiasi dengan beberapa motif ragam hias yang berbentuk ukir-ukiran. Motif ragam hias di sana adalah flora (tumbuh-tumbuhan) dan fauna (binatang).

Motif flora yang digunakan dalam ragam hias antara lain adalah motif bungo tanjung, motif tampuk manggis, dan motif bungo jeruk.

Motif bungo tanjung diukirkan di bagian depan masinding. Motif tampuk manggis juga di depan masinding dan di atas pintu, sedang bungo jeruk di luar rasuk (belandar) dan di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora dibuat berwarna.

Ketiga motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk memperindah bentuk bangunan dan sebagai gambaran bahwa di sana banyak terdapat tumbuh-tumbuhan.

Adapun motif fauna yang digunakan dalam ragam hias adalah motif ikan. Ragam hias yang berbentuk ikan sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi dengan bentuk sisik ikan. Motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di bagian bendul gaho serta balik melintang.

source:
http://djambi-koha.blogspot.com/2009/10/rumah-adat-jambi.html

Saturday, January 7, 2012

Rumah Adat Sumba

Rumah adat berarti rumah tradisional. Sumba adalah sebuah pulau di kawasan timur Indonesia, adalah salah satu dari Kepulauan Sunda Kecil, dan di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Seperti dalam banyak bentuk arsitektur sakral di Indonesia, rumah tidak hanya dilihat sebagai tempat tinggal belaka, itu dianggap sebagai simbol kosmos menghubungkan dunia ilahi dengan Manusia.

Menurut mitos Sumba kuno, ketika rumah leluhur pertama dibangun pada bola langit kedelapan / muka bumi ini, atap ditutupi oleh rambut manusia asli yang diambil selama berburu kepala atau peperangan antar suju. Di jaman sekarang daun lering kelapa disimboliskan menggantikan rambut manusia tersebut.

Rumah tradisional Sumba dibangun dengan atap tinggi yang memuncak atasnya dengan balok kayu memproyeksikan di kedua ujungnya memegang sosok laki-laki dan perempuan yang terbuat dari kayu berukir atau rumput terikat. Balok kayu di atap diyakini pintu masuk untuk roh-roh nenek moyang untuk memasuki rumah dan memberikan berkat kepada keturunan mereka. Kehadiran Marapu di mana-mana di antara yang hidup dan rumah juga dilihat sebagai tempat yang penting pemujaan leluhur.

Empat tiang kayu utama yang mendukung rumah dari kaki ke atas yang terkait erat dengan ritual pemujaan leluhur. Rak terbuat dari rotan dan kayu tergantung dari posting berfungsi sebagai altar persembahan. Pos depan pertama adalah tempat Rato, imam animisme, melakukan ritual nya ramalan dengan menerapkan semangat yang tepat untuk membimbingnya ke masa depan. Pilar depan kedua melambangkan nenek moyang perempuan. Sementara dua pilar belakang melambangkan nenek moyang laki-laki dan perempuan, serta roh kesuburan. Keempat pilar utama yang sering diukir dengan desain geometris yang sama yang menghiasi monumen batu yang ada di dan di sekitar desa. Di rumah ada yang menawarkan altar dimana benda suci disimpan Marapu. Hal ini dalam sudut yang dipilih dengan cermat rumah yang Rato membuat kontak dengan roh-roh selama upacara keagamaan. Ibadah dari kekuatan tak terlihat yang kuat adalah unsur yang lazim dalam budaya megalitik dan tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari Sumba. Seperti dalam banyak bentuk arsitektur sakral di Indonesia, rumah tidak hanya dilihat sebagai tempat tinggal belaka, itu dianggap sebagai simbol kosmos menghubungkan dunia ilahi dengan Manusia.

Meskipun rumah ini dianggap sebagai altar surgawi hidup di bumi, pemujaan leluhur juga umum di desa dan tempat lain yang membutuhkan berkat-berkat dari kekuatan tak terlihat. Stupa kecil yang dikenal sebagai Katoda ditempatkan di depan rumah, di pintu masuk desa, dan di sawah. Katoda juga dapat berupa cabang yang sederhana atau batu tegak undecorated hati-hati dipilih oleh Rato saat melakukan ritual tertentu.

Sumber : http://rumahadat.blog.com/2011/11/01/rumah-adat-sumba/

Thursday, January 5, 2012

Rumah Adat Bali

Bali salah satu pulau terindah di dunia yang terletak pada wilayah kesatuan NKRI ini, merupakan wilayah favorit wisatawan manca negara. Masyarakat Bali sangat kuat adat istiadatnya mereka sangat menjunjung tinggi dan menjaga tradisi mereka sampai sekarang.
Mayoritas penduduk pulau Bali memeluk agama Hindu, Bali terkenal dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.

Di karenakan adat yang sangat kental pada masyarakat Bali inilah sangat mempengaruhi arsitektur pembangunan rumah tinggal mereka. Rumah adat Bali sampai sekarang masih diterapkan dengan kemajuan jaman era moderenisasi tidak dapat menggilasnya begitu saja, pemerintah daerah menerapkan UU mengenai pendirian bangunan di pulau Bali yang harus menerapkan hukum-hukum adat mereka.

Rumah Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali ajaran terdapat pada kitab suci Weda yang mengatur soal tata letak sebuah bangunan, hampir mirip seperti ilmu Feng Shui dalam ajaran Budaya China.

Rumah Bali merupakan penerapan dari pada filosofi yang ada pada masyarakat Bali itu sendiri. Ada tiga aspek yang harus di terapkan di dalamnya, aspek pawongan (manusia / penghuni rumah), pelemahan ( lokasi /lingkungan) dan yang terahir parahyangan. Kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara ke 3 aspek tadi. Untuk itu pembangunan sebuah rumah Bali harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana.

Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional Bali selalu dipenuhi pernik yang berfungsi untuk hiasan, seperti ukiran dengan warna-warna yang kontras tai alami. Selain sebagai hiasan mereka juga mengan arti dan makna tertentu sebagai ungkapan terimakasih kepada sang pencipta, serta simbol-simbol ritual seperti patung.

Bali memiliki ciri khas arsitektur yang timbul dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali itu sendiri yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik bangunan yang ada. Seperti rumah, pura (tempat suci umat Hindu), Banjar (balai pertemuan) dan lain-lain.

Umumnya Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak bangunan-bangunan kecil-kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan bangunan tidak lagi terpisah-pisah.

Sumber : http://rumahadat.blog.com/2011/12/01/rumah-adat-bali/#more-31


Sumber : http://rumahadat.blog.com/2011/12/01/rumah-adat-bali/#more-31

Rumah Adat Suku Baduy

Rumah bagi masyarakat Baduy dalam (kejeroan), di Banten, Jawa Barat. Tidak sekedar tempat tinggal. Ada nilai Filosofi yang di yakini sebagai kepercayaan nenek moyang mereka. Itu sebabnya membangun rumah tidak boleh sembarangan.

KAWASAN Baduy Dalam seperti daerah Kenekes, diyakini sebagai pusat alam semesta. Karena itu, tanah di sana pantang di olah dengan cangkul. Malah, jika tanah yang digunakan untuk membangun rumah tidak rata, mereka tidak mau meratakannya. Rumah tetap didirikan disitu. Caranya tiang-tiang rumah disesuiakan dengan kondosi tanah. Hasilna tentu tiang- tiang yang tidak sama tinggi.

Rumah panggung merupakan ciri khas masyarakat Baduy Dalam. Ini erat kaitannya dengan kepercayaan, rumah itu memiliki kekuatan netral. Terletak antara dunia bawah dan dunia atas. Rumah yang di bangun tidak boleh langsung menyentuh tanah. Tiang- tiang kolong rumah harus di beri alas batu atau umpak.

Bentuk rumah disana disebut sulah nyanda. Namun umumnya orang Sunda didaerah Priangan menyebutnya julang ngapak. Atapna terdiri dari dua bagian kiri dan kanan. Atap sebelah kirinya biasana panjangdari atap sebelah kanan. Tujuannya selain untuk mendapatkan kehangatan karena sisi atap menjadi lebih rendah, juga untuk menambah ruangan, lantaran jumlah anggota keluarga dalam rumah itu bertambah.

Pada pertemuan bagian pucuk atap kiri dan kanan itu, di buat cabik untuk mengatur air agar tidak masuk kedalam rumah. Pembuatan cabik ini pun, berkaitan dengan kepercayaan mengenai lambang lingkaran hidup.

Rumah- rumah masyarakat Baduy Dalam, tidak ada yang menggunakan genteng karena semua rumah beratapkan ijuk atau daun kelapa. Rumah yang beratapkan genteng mereka dianggap menyalahi kepercayaan nenek moyang. Alasannya sederhana saja. Genting itu terbuat dari tanah.

Menggunakan atap genteng berarti mengubur diri idup- idup padahal, orang yang harus dikubur itu mereka yang sudah mati, ini menentang kodrat. Sebab rumah sebagai perantara dunia bawah (tanah) dan dunia atas (langit), tidak boleh diletakan di bawah tanah.

Tanpa Jendela

MASYARAKAT Baduy Dalam tidak mengenal jendela. Bagi mereka jendela itu hany sebagai berfungsi untuk melihat sesuau yang ada diluar. Karenanya, jika memang ada yang ingin dilihat dari dalam cukup melobangi dinding yang terbuat dari bambu. Itu sebabna rumah dikawasan Baduy Dalam hamper tidak berjendela, kecuali rumah- rumah masyarakat Luar.

Bagi orang luar Baduy, jendela merupakn ventilasi untuk menikmati udara segar. Namun untuk orang Baduy Dalam cukup diperoleh dari lobang lantai yang terbuat dari bambu (palupuh).

Organisasi rumah masyarakat Baduy terdirri dari bagian depan, tngah dan belakang (dapur). Bagian depan disebut sosoro, digunakan untuk menerima tamu. Bagian tengah untuk tempat tidur sedangkan bagian belakang untuk memasak.

Para tamu yang tak dikenal hanya boleh memasuki bagian depan. Dilarang keras untuk memasuki kebagian tengah. Sebab mereka punya kepercayaan, setiap orang luar yang datang kerumah membawa pengaruh buruk, itu sebabnya bagian tangah disebut bagian netral, karena bagian buruk disaring dibagian depan.

Tamu yang ingin menginap, menurut adat istiadat Baduy Dalam, harus ditempatkan dirumah jaro (kepala adat). Sebab dirumah ini biasana ada ruang khusus buat tamu yang disebut sesompang. Letaknya berhadapan dengan sosoro namun jika sosompang tak mampu lagi menampung tamu, baru tamu-tamu itu ditampung dirumah- rumah penduduk dengan persyaratan yang berat. Misalnya, selama tamu tersebut tinggal dirumah penduduk mereka wajib mentaati adat yang di junjung tinggi tuan rumah.

Bagian rumah itu didasarkan kepada kepercayaan, rumah identik dengan bumi ( alam semesta). Yang terdiri dari 3 bagian atas, tengah, bawah.

Dapur pada rumah masyarakat Baduy berlantaikan bambu. Untuk membuat tungku, biasanya bagian lantai dapur itu ditimbunin tanah besekat kayu. Diatas tanah itu dibuat tungku. Cara ini dimaksutkan agar api tidak menjilat lantai bambu tersebut. Pada dapur ini, ada sebuah tempat yang disebut goa. Fungsinya untuk menyimpan padi atau beras.

Perkampungan dikawasan Baduy Dalam ditanadai dengan lapangan luas. Letak lapangan itu, ditengah dretan rumah penduduk. Sementara di daerah Baduy Luar, lapangan itu sudah agak kabur karean digunakan untuk jalan orang- orang yang mau masuk kampung.

Diujung sebelah barat lapangan, terletak bagunan yang disebut bale (balai). Disebelah kiri balai ini, berdiri tempat orang- orang menumbuk padi ( saung lisu). Sementara disebelah kanan balai ada sekelompok lumbung padi yang disebut leuit. Rumah puun (toko tertinggi orang Baduy Dalam), terletak disebelah timur lapangan. Dibelakang rumah puun ini terdapat kuburan.

Sumber : http://rumahadat.blog.com/2011/12/18/rumah-adat-suku-baduy/

Tuesday, January 3, 2012

Rumah Adat Toraja

Rumah Adat Toraja biasa disebut Baruang Tongkonan, tongkonan sendiri mempunyai arti tongkon �duduk�, tempat �an� bisa dikatakan tempat duduk, tetapi bukan tempat duduk arti yang sebenarnya melainkan, tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah-masalah adat.

Hampir semua rumah orang Toraja menghadap ke arah utara, menghadap ke arah Puang Matua sebetuan orang toraja bagi tuhan yang maha esa. Selain itu untuk menghormati leluhur mereka dan dipercaya akan mendapatkan keberkahan di dunia ini.

Daerah Tana Toraja umumnya merupakan tanah pegunungan kapur dan batu alam dengan ladang dan hutan yang masih luas, dilembahnya terdapat hamparan persawahan.

Tongkonan sendiri bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu dan lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Material kayu dari kayu uru, sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi. Kualltas kayunya cukup baik dan banyak ditemui di hutan-hutan di daerah Toraja. Kayu di biarkan asli tanpa di pelitur atau pernis.

Rumah Toraja / Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian: yang pertama kolong (Sulluk Banua), kedua ruangan rumah (Kale Banua) dan ketiga atap (Ratiang Banua).

Pada bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari dan aliran angin.

Menilik Latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja itu sendiri.

Dalam pembangunan rumah adat Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal yang di haruskan dan tidak boleh di langgar, yaitu:
Rumah harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru mata angin, yaitu:

Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada (keyakinan masyarakat Toraja).
Timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.
Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
Selatan disebut Pollo�na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik / angkara murka.

Pembangunan rumah tradisional Toraja biasanya dilakukan secara gotong royong. Rumah Adat Toraja di bedakan menjadi 4 macam:

Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.
Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat melaksanakan aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.
Tongkonan Batu A�riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.
Barung-barung, merupakan rumah pribadi. Setelah beberapa turunan (diwariskan), kemudian disebut Tongkonan Batu A�riri.

Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk kerbau tersebut semakin menukjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah.

Kenapa harus tanduk Kerbau? bagi orang Toraja, kerbau selain sebagai hewan ternak mereka juga menjadi lambang kemakmuran dan status. Nah oleh sebab itu kenapa tanduk atau tengkorak kepala kerbau di pajang dan disimpan di bagian rumah karena sebagai tanda bawasannya keberhasilan si pemilik rumah mengadakan sebuah upacara / pesta.

Sumber : http://rumahadat.blog.com/2012/01/01/rumah-adat-toraja/#more-39

Monday, January 2, 2012

Rumah Bari Palembang (Rumah Adat Limas)

Rumah Bari Palembang (Rumah Adat Limas) merupakan Rumah panggung kayu. Bari dalam bahasa Palembang berarti lama atau kuno. Dari segi arsitektur, rumah-rumah kayu itu disebut rumah limas karena bentuk atapnya yang berupa limasan. Sumatera Selatan adalah salah satu daerah yang memiliki ciri khas rumah limas sebagai rumah tinggal. Alam Sumatera Selatan yang lekat dengan perairan tawar, baik itu rawa maupun sungai, membuat masyarakatnya membangun rumah panggung. Di tepian Sungai Musi masih ada rumah limas yang pintu masuknya menghadap ke sungai.

Rumah panggung secara fungsional memenuhi syarat mengatasi kondisi rawa dan sungai seperti di Palembang, yang sempat dijuluki Venesia dari Timur karena ratusan anak sungai yang mengelilingi wilayah daratannya. Batanghari sembilan adalah sebutan untuk Sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Musi. Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Enim, Sungai Hitam, Sungai Rambang, Sungai Lubay.Namun, seiring berjalannya waktu, lingkungan perairan sungai dan rawa justru semakin menyempit. Rumah- rumah limas yang tadinya berdiri bebas di tengah rawa atau di atas sungai akhirnya dikepung perkampungan.

Ada dua jenis rumah limas di Sumatera Selatan, yaitu rumah limas yang dibangun dengan ketinggian lantai yang berbeda dan yang sejajar. Rumah limas yang lantainya sejajar ini kerap disebut rumah ulu.

Bangunan rumah limas biasanya memanjang ke belakang. Ada bangunan yang ukuran lebarnya 20 meter dengan panjang mencapai 100 meter. Rumah limas yang besar melambangkan status sosial pemilik rumah. Biasanya pemiliknya adalah keturunan keluarga Kesultanan Palembang, pejabat pemerintahan Hindia Belanda, atau saudagar kaya.

Bangunan rumah limas memakai bahan kayu unglen atau merbau yang tahan air. Dindingnya terbuat dari papan-papan kayu yang disusun tegak. Untuk naik ke rumah limas dibuatlah dua undak-undakan kayu dari sebelah kiri dan kanan.

Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang disebut tenggalung. Makna filosofis di balik pagar kayu itu adalah untuk menahan supaya anak perempuan tidak keluar dari rumah.

Memasuki bagian dalam rumah, pintu masuk ke rumah limas adalah bagian yang unik. Pintu kayu tersebut jika dibuka lebar akan menempel ke langit- langit teras. Untuk menopangnya, digunakan kunci dan pegas.

Bagian dalam ruangan tamu, yang disebut kekijing, berupa pelataran yang luas. Ruangan ini menjadi pusat kegiatan berkumpul jika ada perhelatan. Ruang tamu sekaligus menjadi "ruang pamer" untuk menunjukkan kemakmuran pemilik rumah. Bagian dinding ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora yang dicat dengan warna keemasan. Tak jarang, pemilik menggunakan timah dan emas di bagian ukiran dan lampu- lampu gantung antik sebagai aksesori.

Bagi pemilik rumah yang masih memerhatikan perbedaan kasta dalam keturunan adat Palembang, mereka akan membuat lantai rumahnya bertingkat-tingkat untuk menyesuaikan kasta tersebut.

Salah satu rumah limas yang menghormati perbedaan adat itu adalah rumah limas milik keluarga almarhum Bayumi Wahab. Lantai rumah itu dibuat menjadi tiga tingkat sesuai dengan urutan keturunan masyarakat Palembang, yaitu raden, masagus, dan kiagus. Rumah yang berada di Jalan Mayor Ruslan ini awalnya berdiri di daerah Tanjung Sejaro, Ogan Komering Ilir. Rumah ini dipindahkan ke Palembang tahun 1962, tetapi rumah tersebut tidak lagi dipakai sebagai hunian sehari-hari.

Rumah limas sebenarnya dapat menjadi hunian yang nyaman. Dengan sedikit sentuhan, rumah panggung dari kayu ini dapat menjadi tempat tinggal yang hangat. Contohnya adalah rumah limas milik keluarga Muhammad Akib Nasution di Jalan Bank Raya, Palembang.

Rumah tersebut aslinya memiliki panjang 65 meter dan lebar 25 meter, tetapi karena tanah Akib di Palembang terbatas, rumah kayu itu pun terpaksa dipotong. Panjangnya tinggal 25 meter dan lebar sekitar 8 meter.

Akib, mantan pegawai Dinas Pekerjaan Umum Sumsel, itu melakukan beberapa perubahan terhadap rumah limas tersebut. Bagian tangganya diganti dengan tangga melingkar dari batu. Pintu masuknya diganti dengan daun pintu yang membuka ke arah dalam.

Bagian ruang tamunya lebih sempit karena ruang yang tersisa disekat menjadi empat kamar tidur. Meskipun tidak terlalu luas, ruangan tamu ini tetap menjadi ruangan yang termewah.

Ruang berukuran delapan kali tiga meter tersebut diberi pembatas berupa panel ukiran motif bunga matahari, pakis, dan sulur-suluran. Ketika rumah itu baru dipindah ke Palembang dan disusun kembali, Akib sengaja memesan panel ukiran baru kepada seorang perajin untuk menggantikan ukir-ukiran lama yang sudah rusak.sekarang sudah sulit mencari perajin yang bisa mengukir sehalus dan serapi ini.

Warna cat yang kuning keemasan tetap dipertahankan sebagai ciri khas Palembang. Selain ukiran kayu, lemari hias berukir sepanjang dinding menjadi penegas dari ruangan tamu.

Ruangan tidur utama memiliki kamar mandi pribadi, lengkap dengan bath tub dan shower. Akib tetap mempertahankan ciri khas pintu kamar yang dibuat lebih tinggi dari lantai. Kebetulan ia dan istrinya gemar berburu barang antik sehingga ranjang buatan Belanda pun dipajang di tempat peraduan.

Karena ruangan yang terbatas, dapur bersih dan dapur kotor dibangun menyatu di bagian paling belakang rumah tersebut.
Namun, sayangnya keluarga Akib hanya menempati rumah tersebut selama dua tahun.

Begitulah, rumah limas yang tidak sekadar indah, tetapi juga mempunyai banyak filosofi di dalamnya, pelan-pelan tertinggal oleh kemajuan zaman

Sumber : http://www.wahana-budaya-indonesia.com/

Sunday, January 1, 2012

Menelisik Rumah Adat Sunda

Pada masa kini, mungkin sudah banyak yang tidak mengetahui bagaimana sebenarnya ujud dari rumah khas tatar Pasundan. Ia bagai sesuatu yang sering terdengar sekaligus jauh dari jangkauan indera,padahal ia lahir dari tangan-tangan terampil. Tulisan ini pun sebenarnya berangkat dari sebuah hal yang sangat sederhana, berawal dari suatu sore yang biasa-biasa saja ketika sepupu saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar tiba-tiba bertanya tentang rumah adat Sunda. Sedikit terhenyak saya mendengar pertanyaan polos yang meluncur dari bibir mungilnya tesebut. Sebuah pertanyaan yang terkesan sangat remeh namun menggugah keinginan saya untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal itu. Rumah adat Sunda, bagaimanakah ia sebenarnya? Dan penelusuran kecil-kecilan saya pun lalu tiba-tiba saja dimulai.

Tak ada yang bisa menyangkal, setiap rumah adat tentu memiliki ciri dan keunikannya masing-masing. Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk menaiki rumah disediakan tangga yang disebut Golodog terbuat dari kayu atau bambu, biasanya tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi pula untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.

Rumah adat Sunda sendiri sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.

Jolopong - atas dasar popularitasnya itu - penelusuran saya pun lalu semakin mengarah pada bentukan rumah adat yang satu ini. Bentuk Jolopong sendiri memiliki dua bidang atap. Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.

Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi, untuk menerima tamu. Pada waktu dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk dan jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu.

Jika ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini ternyata memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar-tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia. Sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh sang rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah di komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.

Memang, bentuk dan gaya rumah adat Sunda sudah sangat jarang dijumpai apalagi di daerah perkotaan. Perkembangan jaman membuat rumah-rumah bergaya barat lebih mendominasi, namun bukan berarti gaya tradisional ini hilang sama sekali. Rumah orang Sunda dewasa ini sebagian besar tidak lagi seperti model tradisional, baik dalam penggunaan segala jenis material maupun dalam bentuk dan model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau yang lain menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya, rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah Sunda. Hal ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik materi ada nilai lain yang terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang Sunda yang sangat mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket dengan nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup. Di samping itu, keberadaan kampung adat maupun kampung budaya di Jawa Barat sangat menolong eksistensi bentuk dan gaya suhunan rumah adat Sunda. Bukan hanya nama-nama suhunan rumah yang dipertahankan, tetapi bentuknya pun dipertahankan dan dikembangkan sesuai bentuk aslinya.

Sumber : http://tobucilhandmade.blogspot.com/2011/04/menelisik-rumah-adat-sunda.html