Latest News

Friday, March 30, 2012

Makna Filosofis Rumah Adat Bugis

Di Sulawesi Selatan terdapat empat etnik: Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Bugis, Makassar, dan Mandar memiliki kesamaan dalam kebudayaan dan cara hidup sehari-hari. Suku Bigis memiliki populasi terbesar dan mendiami sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Umumnya orang Bugis tinggal di rumah panggung dari kayu berbentuk segi empat panjang dengan tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap. Konstruksi rumah dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.

Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur.

Orang Bugis membangun rumah tanpa gambar. Pembangunan rumah dilaksanakan oeh Panrita Bola (ahli rumah) dan Panre Bola (tukang rumah). Panrita Bola menangani hal-hal yang bersifat spiritual, adat dan kepercayaan. Sedang Panre Bola mengerjakan hal-hal bersifat teknis, mengolah bahan kayu menjadi komponen struktur sampai rumah berdiri dan siap dihuni.

Sistem struktur dan konstruksi rumah terdiri atas lima komponen:
(1) rangka utama (tiang dan balok induk),
(2) konstruksi lantai,
(3) konstruksi dinding,
(4) konstruksi atap,
(5) konstruksi tangga.

Semuanya dibuat dengan sistem knock down. Tiang, balok induk, dan tangga dibuat dari kayu kelas satu, sedang komponen konstruksi lainnya dibuat dari kayu kelas dua.

Pekerjaan biasanya dimulai dengan membuat Posi Bola (pusar rumah), sebuah tiang yang dianggap sebagai simbol 'perempuan', ibu yang mengendalikan kehidupan di dalam rumah. Jumlah tiang rumah tergantung pada besarnya rumah, biasanya 20 tiang (5x4 baris tiang) atau 30 tiang (5x6 baris tiang). Jumlah tiang menunjukkan status sosial penghuni. Semakin banyak tiangnya semakin tinggi status sosial pemilik rumah. Rumah raja (sao raja), istana raja biasanya memiliki tiang 40 buah atau lebih.

Ragam hias rumah umumnya merupakan ukiran pada ujung balok induk, ambang pintu dan jendela, induk tangga dan ujung puncak bubungan atap.



Rumah adat bugis memiliki arti filosofi tersendiri bagi masyarakat pemangkunya. antaralain:

Dunia Atas (Botting langi) :
Kehidupan diatas alam sadar manusia yang terkait dengan kepercayaan yang tidak nampak (suci, kebaikan, sugesti, sakral). Sebagaimana dalam pemahaman masyarakat pemangkunya (Bugis) bahwa dunia atas adalah tempat bersemayamnya Dewi padi (Sange-Serri). Dengan pemahaman ini banyak masyarakat Bugis menganggap bahwa bagian atas rumah (Botting langi) dijadikan sebagai tempat penyimpanan padi atau hasil pertanian lainnya. Selain itu biasa juga dimanfaatkan untuk tempat persembunyian anak-anak gadis yang sedang dipingit.

Dunia Tengah (Ale-Kawa) :
Kehidupan di alam sadar manusia yang terkait dengan aktivitas keseharian. Ale-Kawa atau badan rumah dibagi menjadi tiga bagian:
(a) Bagian Depan dimanfaatkan untuk menerima para kerabat/keluarga serta tempat kegiatan adat.
(b) Bagian Tengah dimanfaatkan untuk ruang tidur orang-orang yang dituakan termasuk kepala keluarga (Bapak/ibu).
(c) Ruang Dalam dimanfaatkan untuk kamar tidur anak-anak.

Dunia Bawah (Awa Bola/kolong rumah):
Terkait dengan media yang digunakan untuk mencari rejeki, termasuk alat-alat pertanian, tempat menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak.

Sumber : http://alexnova-alex.blogspot.com/2011/06/di-sulawesi-selatan-terdapat-empat.html

Monday, March 26, 2012

Rumah Limas...Rumahnyo uwong Palembang

Rumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional Palembang. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu biasanya diterima diteras atau lantai kedua.

Kebanyakan rumah limas luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang didirikan diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tanah air. Dinding, pintu dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan kayu seru. Setiap rumah terutama dinding dan pintu diberi ukiran. Saat ini rumah limas sudah mulai jarang dibangun karena biaya pembuatannya lebih besar dibandingkan membangun rumah biasa. Rumah limas yang sering dikunjungi oleh wisatawan adalah milik keluarga Bayuki Wahab di Jl. Mayor Ruslan dan Hasyim Ning di Jl. Pulo, 24 Ilir, Palembang. Namun hampir ditiap pelosok kota terdapat rumah limas yang umumnya sudah tua, termasuk sebuah rumah limas di museum Balaputra Dewa.

Rumah adat limas adalah tempat tinggal yang dipergunakan oleh sebuah keluarga untuk membina kehidupan kekeluargaan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pada hari-hari tertentu termasuk upacara-upacara yang ada hubungannya dengan keluarga tersebut.

Nama limas untuk rumah adat berasal dari kata-kata lima dan emas, dengan mengidentikan emas dengan lima sifatnya yaitu sebagai keagungan dan kebesaran, rukun damai, adab yang sopan santun, aman, subur sentosa serta makmur sejahtera. Dengan demikian, rumah adat limas mengandung makna yang sangat mendalam dan merupakan simbolisasi dari suatu ungkapan yang antara lain diekspresikan dalam bentuk atap yang curam dan lima tingkatan pada lantai atau kekijing.

Rumah adat limas akan selalu menghadap ke arah Timur atau Selatan, jarang menghadap ke arah Utara bilamana tidak diperlukan. Arah Barat sebaiknya dicegah, karena kurang sehat dan banyak menerima angin Barat pada waktu musim hujan di samping menghadap ke arah matahari terbenam. Rumah-rumah yang menghadap ke arah Timur, kecuali mendapatkan matahari pagi sehingga sehat, juga akan menerima jembisan angin laut pada waktu musim panas. Sesuai dengan kedudukan penghuninya di dalam masyarakat, rumah adat limas terbagi pula dalam tingkatan-tingkatan, yaitu dimulai dari tingkatan yang paling besar (15 x 28 depa atau 22,5 x 42 m2 untuk golongan demang sampai pangeran) sampai kepada yang kecil untuk anggota masyarakat biasa (7 x 20 depa atau 10,5 x 30 m2).

Induk rumah pada umumnya terdiri dari ruangan kepala keluarga, ruangan gegajah atau ruangan adat, rungan keputran dan ruangan keputren serta ruangan penganten. Pada rumah adat limas yang besar, kecuali ruangan-ruangan tersebut ada ruangan-ruangan paggar tenggalung, jogan, kekijing, ruangan untuk keluarga, untuk anak menantu, dapur dan sebagainya yang mempunyai luas keseluruhan sampai lebih dari 900 m2. Inti dari rumah adat limas adalah ruangan gegajah atau ruangan adat, merupakan ruangan yang paling besar dan paling luas dalam rumah. Lantainya terletak paling tinggi di kekijing ke lima dan d atas ruangan ini pula letak atap dari rumah induk, disangga oleh tiang-tiang inti yang tidak boleh ada sambungannya. Ruangan gegajah disebut juga sebagai ruangan wanita, oleh karena pelaksanaan semua upacara dan doa-doa dilakukan oleh kaum wanita di ruangan gegajah. Kaum pria tidak diperkenankan seorangpun ada di ruangan tersebut. Upacara-upacara yang dilakukan di ruangan gegajah, terdiri dari upacara kelahiran (syukuran), upacara khitanan, perkawinan dan kematian.

Bahan bangunan yang dipergunakan pada umumnya adalah kayu, yang dikumpulkan dengan sangat seksama sebelum rumah dibangun dankadang-kadang memakan waktu cukup lama. Untuk konstruksi utama atap (alang susunan) dipergunakan jenis kayu seru, yang pada saat ini sudah merupakan jenis kayu yang langka. Kayu ini tidak dipakai dibagian bawah rumah, karena tidak boleh terinjak kaki. Untuk tiang-tiang utamanya dipergunakan kayu uglen atau tembesu. Sambungan-sambungan sejauh mungkin dihindari, papan-papan untuk lantai dipasang dengan suatu sistem yang di Palembang diistilahkan sebagai lanang-betino.

Rumah adat limas diperkaya dengan ukiran-ukiran kayu, yang motif-motifnya diambil dari tumbuh-tumbuhan sebagai perlambang dari kehidupan. Motif-motif berasal dari bunga seperti kembang tanjung, melati, teratai, mawar, dan lain-lain, dari daum maupun buah-buahan atau dahan dan batang. Motif ukir-ukiran tersebut terdapat pula pada alat-alat rumah tangga, antara lain tempat tidur, pada batik Palembang atau kain-kain songket.

Pada awal pembangunan, diadakan musyawarah antara pemuka-pemuka masyarakat tentang pengaturan pelaksanaan dan upacara-upacara selamatan. Pekerjaan dimulai dengan pemasangan tapa�an di dalam tanah, di tempat tiang-tiang didirikan nantinya. Tiang-tiang berbentuk bulat dengan garis tengah rata-rata 30 sampai 40 cm, sesuai dengan besar pohon yang ditebang. Menurut kepercayaan dan adat Palembang, hari yang baik untuk memulai dengan pekerjaan pembangunan rumah adat adalah hari Isnen (senin) pada awal bulan. Hari tersebut berdasarkan kepada empat peristiwa penting, yaitu bahwa pada hari Isnen, Allah SWT menjadikan segala yang tumbuh, pada hari Isnen tanggal 12 Rabi�ul-Awal pula Nabi Muhammad SAW dilahirkan, hijrah ke Madinah dan meninggal dunia. Bila pembangunan rumah telah selesai seluruhnya, sebelum rumah itu dihuni harus lebih dahulu didiami oleh tujuh orang janda (rangda). Kemudian, diadakan upacara selamatan sebagai tanda bersyukur kepada Allah SWT dengan iringan doa-doa untuk keselamatan para penghuninya di kemudian hari.

Sumber : http://www.kotapalembang.info/2011/01/rumah-limasrumahnyo-uwong-palembang.html

Sunday, March 25, 2012

Bentuk Perkawinan Adat Di Ternate

Perkawinan Adat ialah suatu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu masyarakat tertentu yang mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan suatu perkawinan baik secara seremonial maupun ritual menurut Hukum Adat setempat.

Perkawinan Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu sudah dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :

1. LAHI SE TAFO atau WOSA LAHI (=Meminang/Kawin Minta)
2. WOSA SUBA (=Kawin Sembah)
3. SICOHO (=Kawin Tangkap)
4. KOFU�U (=Dijodohkan)
5. MASIBIRI (=Kawin Lari)
6. NGALI NGASU (=Ganti Tiang)

Tulisan ini merupakan sinopsis dari sebagian pembahasan dalam Skripsi Busranto Abdullatif Doa di tahun 1994 dalam menempuh ujian Strata Satu pada Program Studi Sejarah IKIP Negeri Manado.

A. MEMINANG / KAWIN MINTA (=Lahi se Tafo atau Wosa Lahi)

Lahi se Tafo atau meminang merupakan bentuk perkawinan adat yang sangat populer dan dianggap paling ideal bagi masyarakat setempat, karena selain berlaku dengan cara terhormat yakni dengan perencanaan yang telah diatur secara matang dan didahului dengan meminang juga karena dilakukan karena dilakukan menuruti ketentuan yang berlaku umum di masyarakat dan juga dianggap paling sah menurut Hukum Adat.

Pelaksanaan rukun nikah dilakukan menurut syariat Islam dan setelah itu dilaksanakan acara ; Makan Adat, Saro-Saro, Joko Kaha (Lihat Artikel sebelumnya), dan disertai dengan acara-acara seremonial lainnya. Sebagian masyarakat Ternate memandang bahwa semakin megah dan meriah pelaksanaan seremonial sebuah perkawinan, maka status/strata sosial dalam masyarakat bisa terangkat.

B. KAWIN SEMBAH (=Wosa Suba)

Bentuk perkawinan Wosa suba ini sebenanrnya merupakan suatu bentuk penyimpangan dari tata cara perkawinan adat dan hanya dapat disahkan dengan terlebih dahulu membayar/melunasi denda yang disebut �Bobango�. Perkawinan ini terjadi karena kemungkinan untuk menempuh cara meminang/wosa lahi sangatlah sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan karena faktor mas-kawin ataupun ongkos perkawinan yang sangat mahal dsb.

Perkawinan bentuk Wosa Suba ini terdiri atas 3 cara, yakni :

1. Toma Dudu Wosa Ino, Artinya dari luar (rumah) masuk ke dalam untuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis, dengan tujuan agar dikawinkan.

2. Toma Daha Wosa Ino, Artinya dari serambi masuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis agar bisa dikawinkan.

3. Toma Daha Supu Ino, Artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada terlebih dahulu di dalam rumah tanpa sepengatahuan orang tua si gadis.

Bentuk perkawinan �Wosa Suba� ini sudah jarang dilakukan oleh muda-mudi Ternate saat ini karena mereka menganggap cara yang ditempuh dalam bentuk perkawinan ini kurang terhormat dan menurunkan martabat keluarga pihak laki-laki.

C. KAWIN TANGKAP (=Sicoho)

Bentuk perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan cara ke tiga dari bentuk Wosa Suba di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja terjadi di luar rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat diluar batas norma susila.

Dalam kasus seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda walaupun dalam keadaan tertangkap basah. Maka untuk menjaga nama baik anak gadis dan keluarganya terpaksalah mereka dikawinkan juga menurut hukum adat secara islam yang berlaku pada masyarakat Ternate.

Perkawinan bentuk ini dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga laki-laki terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga si gadis dan membayar denda (Bobango) kepada keluarga si gadis. Bentuk perkawinan ini masih sering ditemui di Ternate.

D. DIJODOHKAN (=Kofu�u)

Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka.

Bentuk perkawinan dijodohkan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, hanya saja perbedaan yang paling prinsipil adalah; Kalau di Ternate, terjadi antara anak-anak yang bapaknya bersaudara dekat/jauh atau ibunya bersaudara dekat/jauh. Kebanyakan bentuk perkawinan ini tidak disetujui oleh anak muda jaman sekarang sehingga jalan yang mereka tempuh adalah bentuk �Masibiri� atau Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu�u ini sudah jarang terjadi dalam masyarakat Ternate.

E. KAWIN LARI (=Masibiri)

Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Kawin Lari diantaranya karena orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau juga karena mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok soa yang tidak boleh kawin-mawin.

Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk Kawin Lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda mudi di Ternate jaman sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan �Kawin Cowboy�.

Konsekwensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah secara Islam.

Biasanya yang bertindak sebagai wali adalah �Wali Hakim Syari�at�. Karena biasanya orang tua si gadis tidak bersedia menjadi wali nikah. Pada umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah petugas/pejabat nikah (Hakim Syari�at), ia langsung diterima oleh isteri pejabat Haki Syari�at tersebut dan diperkenankan untuk mtinggal beberapa hari. Setelah petugas memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang berada di rumahnya. Biasanya orang tua si gadis menyerahakan wali dan pelaksanaan perkawinan darurat ini kepada petugas Hakim Syari�at untuk mengurusnya.

Bentuk perkawinan Masibiri ini hingga saat ini masih banyak ditempuh oleh anak muda Ternate yang mengambil jalan pintas untuk berumah tangga bila tidak direstui oleh orang tuanya.

F. GANTI TIANG (=Ngali Ngasu)

Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami isteri yang isterinya atau suaminya meninggal duni maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu kakak atau adik dari si siteri atau kakak atau adik dari si suami suami.

Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak lain.

Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat di pulau Jawa dikenal dengan istilah �Turun Ranjang�. Namun karena perkembangan pola pemikiran dan perkembangan jaman mengakibatkan bentuk perkawinan sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate.

Oleh : Busranto Abdullatif Doa

Sumber : http://busranto.blogspot.com/2007/11/bentuk-perkawinan-adat-di-ternate_14.html

Thursday, March 22, 2012

Mengintip Pembuatan Rumah Adat Sumba

Sepasang Rumah Adat Sumba, Ratenggaro, Kodi, Sumba Barat Daya

Dua hari yang lalu saya diajak seorang rekan menyaksikan prosesi pembuatan rumah adat sumba di kampung Ratenggaro, Kodi, Sumba Barat Daya. Ratenggaro sering dilafalkan jadi �Ratenggarong�, sebuah pelafalan yang keliru kata teman saya. Harusnya, �Ratenggaro atau Rategaura�, rate berarti kuburan dan Gaura adalah tempat asal orang pertama yang menghuni kampung itu.

Ratenggaro atau Rategaura adalah salah satu kampung tua di wilayah Kodi. Kini kampung itu dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata, selain rumah-rumah adat yang berbentuk menara, kampung itu pun terletak dekat dengan pantai yang begitu indah dengan pasir putihnya. Dulunya kata teman saya, kampung mereka berada tepat dipinggir pantai, namun karena pengaruh abrasi, maka kampung itu pun dipindahkan agak kedalam. Itu pun katanya melalui prosesi dan upacara adat yang luar biasa ramainya. Makanya jangan heran melihat kuburan batu yang pas di pinggir pantai, ternyata dulu itu adalah bekas kampung.

Kerangka Rumah Adat dari Bambu dan Kayu Bulat

Rumah adat bisa dikatakan sebagai sentral kehidupan orang Sumba, segala hal yang terkait dengan adat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh adat dan kepercayaan �Marapu� yang biasanya tinggal di salah satu rumah di kampung adat seperti Ratenggaro ini. Rumah adat Sumba biasanya berbeda dengan rumah biasa. Berbentuk menara, dan disana biasanya ada tanduk kerbau di simpan juga tengkorak babi yang pernah dikorbankan saat upacara. Bahkan konon dahulu kala, kepala musuh yang berhasil dipenggal saat perang juga disimpan di langit-langit rumah adat. Hal yang tentunya tak akan lagi kita temukan sekarang.

Membangun rumah adat baru ternyata bukan prosesi yang mudah. Semuanya harus melewati serangkaian upacara yang rumit. Bahkan menyiapkan bahan-bahan bangunan untuk rumah itu pun tidak boleh sembarangan. Rumah menara setinggi 20 meter ini umumnya terbuat dari bambu bulat dengan tiang penyanggah yang juga terbuat dari kayu bulat. Orang-orang lokal menyebutnya �kayu kadimbil� berusia tua. Atapnya tak boleh dari bahan lain selain alang-alang.

Gotong Royong Mengatapi Rumah

Saya kadang membayangkan betapa susahnya membuat kontruksi rumah adat setinggi 20 meter itu tanpa menggunakan paku dan kayu lain selain bambu untuk rangka atap. Kata teman saya tidak boleh menggunakan paku dalam pembuatan rumah adat. Semua bahan mulai dari atap dan lainnya diikat dengan tali dari semacam kulit pohon yang kuat. Di bagian atap, rangkanya murni dari bambu, penambahan bahan lain dari kayu harus mendapat izin dulu dengan melakukan upacara dimana disana harus ada kurban hewan.

Saat saya berkunjung, ada dua rumah adat yang hendak dibangun. Katanya ada donatur dari Jakarta yang berbaik hati membiayai pembangunan rumah itu. Sepasang rumah, dianggap sebagai representasi laki-laki dan perempuan. Kalau ditaksir bisa jadi memakan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk setiap rumah lengkap dengan kerbau dan babi yang akan dipotong untuk memberi makan para pekerja dan anggota keluarga dari rumpun kampung itu yang datang berkunjung.

Beberapa Orang Membantu Melemparkan Alang

Sangat terasa sekali kemeriahan dan nuansa kegotongroyongan dalam pembangunan rumah adat itu. Saya paling suka teriakan mereka bersahut-sahutan untuk saling menyemangati. Beberapa orang melemparkan alang yang telah diikat dari bawah rumah dengan riang, lalu ditangkap oleh mereka yang telah berada diatas kerangka atap untuk diikatkan. Gong dan tambur tradisional pun tak henti dibunyikan, menambah semarak acara itu. Bahkan ada yang beberapa orang yang menari sambil mengayun-ayunkan parang mengikuti irama gong dan tambur sambil berteriak-teriak dalam bahasa Sumba. Mungkin memberi semangat para pekerja untuk cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Salah Satu Hewan yang Akan Dikurbankan

Uniknya, sebelum seluruh rumah adat itu diatapi, orang tak boleh makan, hewan belum boleh dipotong, hanya boleh minum kopi yang telah disediakan tuan rumah. Bukan cuma untuk pekerja namun untuk seluruh orang dan tamu yang hadir di tempat itu. Saat saya meninggalkan pembuatan rumah itu sore hari, rumah belum juga diatapi, jadi mungkin mereka makan sore atau malam harinya.

Menarik mendapat kesempatan menyaksikan pembuatan salah satu rumah adat Sumba ini, kata teman saya rumah yang satunya akan mulai diatapi dengan upacara serupa awal November nanti. Jika saat itu anda kebetulan di sumba, tak ada salahnya berkunjung dan menyaksikannnya secara langsung. Salam dari Sumba.

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/25/mengintip-pembuatan-rumah-adat-sumba/

Monday, March 19, 2012

Rumah Adat Sunda (gambar/sketsa)

Dalam masyarakat Sunda buhun (kuno) dikenal beberapa jenis bangunan rumah, Pada umumnya bangunan rumah adat sunda bentuknya panggung, yang kaki-kakinya (tatapakan, istilah sunda) terbuat dari batu persegi (balok) dalam bahasa Sunda disebut batu tatapakan. Untuk tihang (tiang) mengunakan kayu. Bagian bawah/lantai menggunakan papan kayu atau palupuh/talupuh dari bambu. Dindingnya memakai anyaman bambu (bilik) atau papan kayu.

Perbedaannya terlihat pada bagian atas/atap (suhunan), antara lain:

- Julang ngapak, yaitu bentuk bangunan rumah yang suhunan bagian sisi kiri kanan agak melebar ke samping. Ada juga yang menyebutnya memakai sorondoy. Apabila di lihat dari arah depan seperti burung yang sedang terbang.

sketsa suhunan julang ngapak...

- Parahu kumureb, yaitu bentuk bangunan rumah yang atapnya (suhunan) membentuk perahu terbalik (telungkup).

sketsa suhunan parahu kumereb...

- Suhunan jolopong, yaitu bentuk bangunan yang atapnya (suhunan) memanjang sering disebut suhunan panjang atau gagajahan.

sketsa suhunan jolopong...

- Tagog anjing, yaitu bentuk bangunan mirip dengan bentuk badak heuay, tetapi ada sambungan kebagian depan dan sedikit turun. Jadi bangunannya tekuk (ngeluk) seperti anjng jongkok.

sketsa suhunan tagog anjing...

- Badak heuay, yaitu bentuk bangunan seperti saung tidak memakai wuwung sambungan atap (hateup) depan dengan belakang seperti badak sedang membuka mulutnya (menguap, arti sunda heuay).

sketsa suhunan badak heuay...

- Capit gunting, yaitu bentuk bangunan rumah yang atap (suhunan) bagian ujung belakang atas dan depan atas menggunakan kayu atau bambu yang bentuknya menyilang dibagian atasnya seperti gunting.

sketsa suhunan capit gunting...

Sumber : http://yariesandi.wordpress.com/2012/01/11/rumah-adat-sunda-gambarsketsa/

Friday, March 16, 2012

Kenapa Rumah Gadang Minangkabau Atapnya Seperti Tanduk Kerbau?

Rumah gadang merupakan rumah adat Minangkabau. Rumah gadang ini mempunyai ciri-ciri yang sangat khas. Bentuk dasarnya adalah balok segi empat yang mengembang ke atas. Garis melintangnya melengkung tajam dan landai dengan bagian tengah lebih rendah. Lengkung atap rumahnya sangat tajam seperti tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan dan rumah landai seperti badan kapal.

Atap rumahnya terbuat dari ijuk. Bentuk atap yang melengkung dan runcing ke atas itu disebut gonjong. Karena atapnya membentuk gonjong, maka rumah gadang disebut juga rumah bagonjong.

Asal usul bentuk rumah gadang

Bentuk atap rumah gadang yang seperti tanduk kerbau sering dihubungkan dengan cerita Tambo Alam Minangkabau. Cerita tersebut tentang kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan orang Jawa.

Bentuk-bentuk menyerupai tanduk kerbau sangat umum digunakan orang Minangkabau, baik sebagai simbol atau pada perhiasan. Salah satunya pada pakaian adat, yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk tanduk) untuk Bundo Kanduang.

Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan nenek moyang Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek moyang Minangkabau pada masa dahulu. Perahu nenek moyang ini dikenal dengan sebutan lancang.

Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang Kampar. Setelah sampai di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar tidak lapuk oleh air sungai.

Lancang kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi atap dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang tersebut. Selanjutnya, karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya membentuk lengkungan yang menyerupai gonjong.

Lancang ini menjadi tempat hunian buat sementara. Selanjutnya, para penumpang perahu tersebut membuat rumah tempat tinggal yang menyerupai lancang tersebut. Setelah para nenek moyang orang Minangkabau ini menyebar, bentuk lancang yang bergonjong terus dijadikan sebagai ciri khas bentuk rumah mereka.

Dengan adanya ciri khas ini, sesama mereka bahkan keturunannya menjadi lebih mudah untuk saling mengenali. Mereka akan mudah mengetahui bahwa rumah yang memiliki gonjong adalah milik kerabat mereka yang berasal dari lancang yang sama mendarat di pinggir Batang Kampar.

Bagian-bagian dalam Rumah Gadang Minangkabau

Rumah adat Minangkabau dinamakan rumah gadang adalah karena ukuran rumah ini memang besar. Besar dalam bahasa Minangkabau adalah gadarig. Jadi, rumah gadang artinya adalah rumah yang besar. Bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur.

Ruangan lepas ini merupakan ruang utama yang terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang rumah gadang berbanjar dari muka ke belakang atau dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang mbnandai lanjar, sedangkan tiang dari kini ke kanan menandai ruang. Jadi, yang disebut lanjar adalah ruangan dari depan ke belakang. Ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang.

Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah. Biasanya jumlah lanjar adalah dua, tiga clan empat. Jumlah ruangan biasanya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Ukuran rumah gadang tergantung kepada jumlah lanjarnya.

Sebagai rumah yang besar, maka di dalam rumah gadang itu terdapat bagian-bagian yang mempunyai fungsi khusus. Bagian lain dari rumah gadang adalah bagian di bawah lantai. Bagian ini disebut kolong dari rumah gadang. Kolong rumah gadang cukup tinggi dan luas. Kolong ini biasanya dijadikan sebagai gudang alat-alat pertanian atau dijadikan sebagai tempat perempuan bertenun. Seluruh bagian kolong ini ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.

Dinding rumah gadang terbuat dari kayu, kecuali bagian belakang yang dari bambu. Dinding papan dipasang vertikal. Pada setiap sambungan papan diberi bingkai. Semua papan tersebut dipenuhi dengan ukiran. Kadang-kadang tiang yang ada di dalam juga diukir. Sehingga, ukirang merupakan hiasan yang dominan dalam bangunan rumah gadang Minangkabau. Ukiran disini tidak dikaitkan dengan kepercayaan yang bersifat sakral, tetapi hanya sebagai karya seni yang bernilai hiasan.

Sumber : http://www.ikbar.org/?p=10

Thursday, March 15, 2012

Upacara Adat Mitoni di Jawa Tengah

Seperti yang kita mafhum bersama bahwa negeri kita Indonesia merupakan sebuah negeri kepulauan yang tiap pulau terdapat berbagai macam kebudayaan tradisional yang beraneka ragam. Di antara tradisi yang beragam itu kita ingin membahas salah satu upacara adat yang terdapat di Jawa Tengah khususnya Surakarta yang disebut dengan Tingkepan atau Mitoni. Upacara adat Tingkepan atau Mitoni sendiri merupakan sebuah upacara adat yang dilaksanakan untuk memperingati kehamilan pertama ketika kandungan sang ibu hamil tersebut memasuki bulan ke tiga, lima dan puncaknya ke tujuh bulan. Adapun maksud dan tujuan dari digelarnya upacara adat ini adalah untuk mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandungnya, agar selalu sehat segar bugar dalam menanti kelahirannya yang akan datang.

Kronologi singkat dari upacara tingkepan ini sendiri adalah menggelar selametan pada bulan ketiga, lima dan kemudian puncaknya adalah pada bulan ke tujuh sang ibu hamil pun menggelar sebuah prosesi upacara berupa memandikan atau mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandung, agar kelak segar bugar dan selamat dalam menghadapi kelahirannya.

Pertama-tama sang calon ayah dan calon ibu yang akan melakukan upacara Tingkepan duduk untuk menemui tamu undangan yang hadir untuk menyaksikan upacara Tingkepan ini di ruang tamu atau ruang lain yang cukup luas untuk menampung para undangan yang hadir. Setelah semua undangan hadir maka barulah kemudian sang calon ibu dan ayah inipun di bawa keluar untuk melakukan ritual pembuka dari acara tingkepan itu sendiri yakni sungkeman. Sungkeman adalah sebuah prosesi meminta maaf dan meminta restu dengan cara mencium tangan sambil berlutut. Kedua calon ayah dan calon ibu dengan diapit oleh kerabat dekat diantarkan sungkem kepada eyang, bapak dan ibu dari pihak pria, kepada bapak dan ibu dari pihak puteri untuk memohon doa restu. Baru kemudian bersalaman dengan para tamu lainnya.

Setelah acara sungkeman selesai barulah kemudian digelar upacara inti yakni memandikan si calon ibu setelah sebelumnya peralatan upacara tersebut telah dipersiapkan. Alat-alat dan bahan dalam upacara memandikan ini sendiri adalah antara lain bak mandi yang dihias dengan janur sedemikian rupa hingga kelihatan semarak, alas duduk yang terdiri dari klosobongko, daun lima macam antara lain, daun kluwih, daun alang-alang, daun opo-opo, daun dadapserat dan daun nanas. Jajan pasar yang terdiri dari pisang raja, makanan kecil, polo wijo dan polo kependem, tumpeng rombyong yang terdiri dari nasi putih dengan lauk pauknya dan sayuran mentah. Baki berisi busana untuk ganti, antara lain kain sidoluhur; bahan kurasi; kain lurik yuyu sukandang dan morikputih satu potong; bunga telon yang terdiri dari mawar, melati dan kenanga; cengkir gading dan parang serta beberapa kain dan handuk.

Setelah semua bahan lengkap tersedia maka barulah kemudian si calon ibu pun di mandikan. Pertama-tama yang mendapat giliran memandikan biasanya adalah nenek dari pihak pria, nenek dari pihak wanita, dan kemudian barulah secara bergiliran ibu dari pihak pria, ibu dari pihak wanita, para penisepuh yang seluruhnya berjumlah tujuh orang dan kesemuanya dilakukan oleh ibu-ibu. Disamping memandikan, para nenek dan ibu-ibu ini pun diharuskan untuk memberikan doa dan restunya agar kelak calon bayi yang akan dilahirkan dimudahkan keluarnya, memiliki organ tubuh yang sempurna (tidak cacat), dan sebagainya.

Sementara itu, ketika calon ibu dimandikan maka yang dilakukan oleh calon ayah berbeda lagi yakni mempersiapkan diri untuk memecah cengkir (kelapa muda) dengan parang yang telah diberi berbagai hiasan dari janur kelapa. Proses memecah cengkir ini sendiri hanya sekali ayun dan harus langsung terbelah menjadi dua bagian. Maksud dari hanya sekali ayun dan harus langsung terbelah ini sendiri adalah agar kelak ketika istrinya melahirkan sang anak tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Setelah semua upacara itu terlewati, langkah selanjutnya adalah sang calon ayah dan calon ibu yang telah melakukan upacara tersebut pun diiring untuk kembali masuk kamar dan mengganti pakaian untuk kemudian bersiap melakukan upacara selanjutnya yakni memotong janur. Prosesi memotong janur ini sendiri adalah pertama-tama janur yang telah diambil lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si calon ibu untuk kemudian dipotong oleh si calon ayah dengan menggunakan keris yang telah dimantrai. Proses memotong ini sama seperti halnya ketika memecah cengkir, sang calon ayah harus memotong putus pada kesempatan pertama.

Setelah selesainya upacara memotong janur ini pun kemudian dilanjutkan dengan upacara berikutnya yakni upacara brojolon atau pelepasan. Upacara brojolan ini sendiri adalah sebuah upacara yang dilakukan oleh calon ibu sebagai semacam simulasi kelahiran. Dalam upacara ini pada kain yang dipakai oleh calon ibu dimasukkan cengkir gading yang bergambar tokoh pewayangan yakni Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih. Tugas memasukkan cengkir dilakukan oleh ibu dari pihak wanita dan ibu dari pihak pria bertugas untuk menangkap cengkir tersebut di bawah (antara kaki calon ibu). Ketika cengkir itu berhasil ditangkap maka sang ibu itu pun harus berucap yang jika dibahasa Indonesiakan berbunyi, �Pria ataupun wanita tak masalah. Kalau pria, hendaknya tampan seperti Batara Kamajaya dan kalau putri haruslah cantik layaknya Batari Kamaratih.� Kemudian seperti halnya bayi sungguhan, cengkir yang tadi ditangkap oleh ibu dari pihak pria ini pun di bawa ke kamar untuk ditidurkan di kasur.

Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh calon ibu ini pun harus memakai tujuh perangkat pakaian yang sebelumnya telah disiapkan. Kain-kain tersebut adalah kain khusus dengan motif tertentu yaitu kain wahyutumurun, kain sidomulyo, kain sidoasih, kain sidoluhur, kain satriowibowo, kain sidodrajat, kain tumbarpecah dan kemben liwatan.
Pertama, calon ibu mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya agar mendapatkan wahyu atau rido yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Kedua, calon ibu mengenakan kain sidomulyo, yang maksudnya agar kelak hidupnya mendapatkan kemuliaan.
Ketiga, calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya agar kelak mendapatkan kasih sayang orang tua, maupun sanak saudara.
Keempat, calon ibu mengenakan busana kain sidoluhur, maksud yang terkandung di dalamnya agar kelak dapat menjadi orang yang berbudi luhur.
Kelima, calon ibu mengenakan kain satriowibowo, maksudnya agar kelak dapat menjadi satria yang berwibawa.
Keenam, calon ibu mengenakan busana kain sidodrajat, terkandung maksud agar kelak bayi yang akan lahir memperoleh pangkat dan derajat yang baik.
Ketujuh, calon ibu mengenakan busana kain tumbarpecah dan kemben liwatan yang dimaksudkan agar besok kalau melahirkan depat cepat dan mudah seperti pecahnya ketumbar, sedangkan kemben liwatan diartikan agar kelak dapat menahan rasa sakit pada waktu melahirkan dan segala kerisauan dapat dilalui dengan selamat.

Sambil mengenakan kain-kain itu, ibu-ibu yang bertugas merakit busana bercekap-cakap dengan tamu-tamu lainnya tentang pantas dan tidaknya kain yang dikenakan oleh calon ibu. Kain-kain yang telah dipakai itu tentu saja berserakan dilantai dan karena proses pergantiannya hanya dipelorotkan saja maka kain-kain tersebutpun bertumpuk dengan posisi melingkar layaknya sarang ayam ketika bertelur. Dengan tanpa dirapikan terlebih dahulu kain-kain tersebut kemudian dibawa ke kamar.

Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai penutup dari rangkaian prosesi upacara tersebut adalah calon ayah dengan menggunakan busana kain sidomukti, beskap, sabuk bangun tulap dan belankon warna bangun tulip, dan calon ibu dengan mengenakan kain sidomukti kebaya hijau dan kemben banguntulap keluar menuju ruang tengah dimana para tamu berkumpul. Di sini sebagai acara penutup sebelum makan bersama para tamu, terlebih dahulu dilakukan pembacaan doa dengan dipimpin oleh sesepuh untuk kemudian ayah dari pihak pria pun memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon bapak dan calon ibu untuk dimakan bersama-sama. Tujuan dari makan timpeng bersama ini sendiri adalah agar kelak anak yang akan lahir dapat rukun pula seperti orang tuanya. Pada waktu makan ditambah lauk burung kepodang dan ikan lele yang sudah digoreng.

Maksudnya agar kelak anak yang akan lahir berkulit kuning dan tampan seperti burung kepodang. Sedangkan ikan lele demaksudkan agar kelak kalau lahir putri kepala bagian belakang rata, supaya kalau dipasang sanggul dapat menempel dengan baik. Usai makan bersama, acara dilanjutkan upacara penjualan rujak untuk para tamu sekaligus merupakan akhir dari seluruh acara tingkepan atau mitoni. Sambil bepamitan, para tamu pulang degan dibekali oleh-oleh, berupa nasi kuning yang ditempatkan di dalam takir pontang dan dialasi dengan layah. Layah adalah piring yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan, takir pontang terbuat dari daun pisang dan janur kuning yang ditutup kertas dan diselipi jarum berwarna kuning keemasan.

Sumber :
http://budayanusantara.blogsome.com/
http://elbelinda.blogspot.com/

Monday, March 12, 2012

Filosofi Rumah Gadang (Rumah Adat Minangkabau)

Apa yang kita bang�gakan dengan ru�mah gadang sekarang ini? Tergilas dengan rumah bergaya arsi�tektur mo�dern baik dari bentuk dan fungsinya. Rumah yang terpakai kadang kala sebagai pertanda dan �hiasan� kalau kita itu memang orang Mi�nang. Fungsinya kadang kala merana tak menyentuh hakekat kehidupan masyarakat Minangkabau yang konon katanya berfal�safah alam takambang jadi guru itu.

Sebab secara hakekatnya dari rumah gadang tersebut baik dari gaya seni bina, pembinaan, hiasan bagian dalam dan luar dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau ter�sebut. Walaupun demikian kitapun tak bisa mena�fikan di beberapa daerah yang masih kental adat dan budaya dan memfungsikan rumah gadang dalam kehidupannya de�ngan baik.

Bahkan ada yang masih terawat dengan baik dan berdiri dengan megahnya. Deretan rumah gadang tersebut dapat kita jumpai misalnya di Kabupaten Solok Selatan yang dijuluki dengan seribu rumah gadang, jejeran rumah gadang di Kota Solok dan Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya dan beberapa daerah lainnya di Propinsi Sumatera Barat.

Disigi dari filosofinya, rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena bentuknya yang besar melainkan fungsinya yang gadang. Ini ternukil dalam ungkapan yang sering kita dengan bila tetua-tetua adat membicarakan masalah rumah gadang tersebut.

Rumah Gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikat, Pintunyo banamo dalil kiasan, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang naik batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliak�nyo aluang bunian

Dari ungkapan tersebut sesung�guh�nya dapat kita pahami bahwa fung�si rumah gadang tersebut me�nyelingkupi bagian keseluruhan ke�hi�dupan orang Minangkabau itu sen�diri sehari-hari, baik sebagai tem�pat kediaman keluarga dan me�rawat ke�luarga, pusat melaksa�na�kan ber�bagai upacara, sebagai tem�pat ting�gal bersama keluarga dan inipun di�atur dimana tempat pe�rempuan yang sudah berkeluarga dan yang be�lum, sebagai tempat ber�mufakat, ru�mah gadang merupa�kan ba�ngun�an pusat dari seluruh ang�gota ka�um dalam membicarakan ma�sa�lah mereka bersama dalam se�buah suku, kaum maupun nagari dan sebagainya. Memang sebuah fung��sional dari rumah gadang tersebut bila kita pahami dengan baik.

Sekarang pertanyaan kita adalah apakah fungsi rumah gadang tersebut memang seperti itu adanya sekarang?. Memang sulit untuk menjawabnya, namun jamak terjadi di daerah kita akan terjadinya degredasi dalam memfungsikan rumah gadang tersebut dalam kehidupan orang Minangkabau itu sendiri.

Berbagai persoalan yang muncul, mulai dari tingkat suku, kaum dan nagari kadang kala tak mengin�dahkan fungsi rumah gadang terse�but. Contoh kecil saja kita sebut, persoalan tanah yang sampai ke�tingkat pengadilan marupakan keti�dakmampuan kita memahami dari fungsi rumah gadang itu sendiri. Tidakkah ada pepatah Minangkabau yang menyebutkan bahwa �bulek aie dek pambuluah-bulek kato dek mupakat, Aie batitisan batuang-bana bana batatasan urang, Bajanjang naiek-batanggo turun� Ini dimu�syawarahkan dan dimufakatkan di rumah gadang sebetulnya. Namun kita lebih senang mengutamakan pemecahannya ke pengadilan dari pada ke rumah gadang tersebut. Tidakkah ada rumah gadang yang akan menyelesaikannya?

Dari perspektif sejarah, peme�rintah Kolonial Belanda sudah mewanti-wanti untuk memfungsikan hal tersebut dan menawarkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di nagari dengan adatnya. Pada 1930-an, bahkan menjadi praktek umum pengadilan bahwa perselisihan-perselisihan kaum, tidak diterima oleh pengadilan kecuali pihak-pihak yang berperkara telah memperoleh keputusan dari pemangku adat sebelumnya, secara implisit yakni fungsi rumah gadang tersebut (Guyt, 1934 : 134) Pada 1935, sejenis �peradilan kampung� secara resmi diterapkan oleh pemerintah kolonial. Sebuah ordonansi yang meng�amandemen Rechtsreglement voor de Buitenggewesten, R.B.G., disahkan dan dinyatakan bahwa : �Tindakan-tindakan hukum, dimana para hakim dari komunitas-komunitas yang lebih kecil harus membuat pertimbangan menurut hukum adat, tunduk kepada pertimbangan tersebut�. Bahkan lembaga-lembaga adat yang baru mendapat pengakuan itu mendapat status hakim perdamaian. Pribumi tidak dihalangi untuk menyampaikan perkara mereka ke pengadilan-pengadilan Belanda. Namun, distrikts�gerechten harus menerangkan kepada mereka apakah �peradilan kampung� itu telah memberikan keputusan dalam kasus tersebut, dan jika demikian, apakah mereka wajib mempertimbangkan keputusan tersebut

Beckman (2000) menulis bahwa se�jak kemerdekaan Hindia Belanda ta�hun 1945 situasi majemuk itu pada da�sarnya tidak berubah. Peraturan yang terkandung di dalam Pasal 163 dan 131. I.S misalnya pada umumnya te�tap berlaku dan tetap diterapkan di Pengadilan Negeri di Minangkabau ma�sa itu. Pasal 163 I.S (Indische Staatregeling) menetapkan siapa yang ter�golong kedalam kelompok pendu�duk yang mana, dan pasal 131 me�ngatur undang-undang mana yang ha�rus diterapkan untuk kelompok-ke�lompok penduduk tertentu. Begi�tu�lah nuansa bagaimana kekuatan adat diutamakan, walaupun dominasi hu�kum barat juga menyentuh kehi�dup�an masyarakat kita saat itu. Na�mun untuk kearah itu sudah dimu�lainya.

Begitu juga dengan hiasan di depannya yakni rangkiang. Tidak lagi menyentuh dan difungsikan dalam kehidupan kita. Cermati saja kejadian gizi buruk. Gizi buruk tak akan terjadi bila kita memahami roh rangkiang yang berdiri megah di depan rumah dagang. Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, setiap keluarga akan dihiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna dari sudut duniawi.

Kenapa tidak, untuk membeli barang-barang tersebut-terutama barang-barang yang berupa keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri telah ada rangkiang si tinjau lauik untuk membelinya. Begitu juga keperluan makan sehari-hari, sudah ada rangkiang si bayau-bayau. Kemudian ketika terjadi musim paceklik, maka untuk menga�tasinya sudah ada rangkiang si tanggung lapa. Dengan adanya rangkiang ini telah mewaspadai kita untuk tidak terjadinya kelaparan di kemudian hari-sebab dalam rang�kiang si tanggung lapa telah disiapkan cadangan padi.

Terakhir, pembenihan untuk ditanam setelah panen juga telah disiapkan dengan adanya rangkiang kaciak. Nah, sekarang sebetulnya menurut filosofinya di negeri kita ini tidak mengenal yang namanya gizi buruk, kelaparan, pinjam sini pinjam sana (ngutang) dan lain sebagainya. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita hari ini! (Undri, Haluan, Senin, 21 Maret 2011).

Ironinya ketika gempa dahsyat terjadi banyak para arsitek menya�rankan pembuatan rumah kede�pannya dengan mencontoh pola arsitekturnya yang ada pada rumah gadang. Argumentasinya adalah bahwa rangkaian dari arsitektur rumah gadang sangat kokoh dan bila terjadi gempa akan dapat memi�nimalisir terjadi kerusakan. Rumah gadang yang lagi di-gadangkan. Seakan-akan kita baliak lagi apabila dirasa perlu dan bila tidak perlu ditinggalkan. Itulah nasibnya rumah gadang sekarang ini.

Kedepan, memfungsikan rumah gadang dengan ke-gadangan-nya merupakan sebuah keharusan supaya kita tak tergilas dengan gilasan arus global dan modernisasi yang serta merta membuat kita akan terbawa arus jua. Segenap kita bergandengan tangan untuk mewujudkan ini.

Artkel ditulis oleh : UNDRI (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang), Sumber Harian Haluan,Selasa, 05 April 2011 02:16

Sumber : http://www.lanteraminang.net/index.php?/20111126537/Filosofi-Rumah-Gadang-Rumah-Adat-Minangkabau.html



Friday, March 9, 2012

Upacara Perkawinan Adat Bali

Dalam ajaran Hindu terdapat empat tahap dalam mencapai tujuan hidup, adapun tujuan hidup tersebut dinamakan Catur Purusa Artha terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.

Sementara dalam Perkawinan adalah bentuk perujudan dari suatu usaha untuk mencapai tujuan hidup. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan "Yatha sakti Kayika Dharma" ini bermakna dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma

Upacara perkawinan pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sedangkan pengertian perkawinaan sendiri adalah jalinan ikatan secara lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia dan abadi selamanya hingga akhir usia.

Bila seseorang sudah berniat melakukan perkawinan, diharapkan sudah mereka sudah siap lahir dan batin dalam menempuk bahtera rumah tangga kelak.

Dalam perkawinan umat Hindu di Bali, ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.

Sebelum seseorang memasuki jenjang perkawinan dibutuhkan suatu bimbingan, nasehat dan wejangan agar dalam pelaksaanaannya nanti tidak mengalami kendala, masalah yang mungkin akan timbul dalam mengarui biduk bahtera rumah tangga, bimbingan ini diberikan dari orang yang mengerti dan ahli dalam bidang agama Hindu, orang yang mengerti agama ini akan menerangkan apa yang menjadi tugas dan kewajiban bagi orang yang telah terikat dalam pernikahan sehinggabisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.

Lalu dilanjutkan dengan proses penyucian diri yang bertujuan memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya (umat Hindu di Bali percaya leluhur yang sudah meninggal dapat berenkarnasi dalam perujudan anak cucu kembali) untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia. Melahirkan anak lewat perkawinan mengasuh, membimbing, memeliharanya dan mendidik dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Terlebih lagi kalau anak tersebut dapat menjadi manusia yang sempurna, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.

Perkawinan bagi umat Hindu merupakan sesuatu yang suci dan sakral. Saat itu perkawinan layak atau tidak nya ditentukan oleh seorang Resi, dimana sang Resi (Bramana Sista) ini mampu melihat lewat mata batin cocok tidaknya dari pasanngan yang akan dinikahkan, bila tidak cocok atau jodoh akan dibatalkan karena bisa berakibat buruk bagi kehidupan rumah tangga mereka nanti. Namun seiring masa berganti dan pertimbangan duniawi lebih mempengaruhi orang tua dalam memilih jodoh untuk anak anak mereka dan bukan lagi nilai budi pekerti yang di junjung tinggi

Pernikahan adat Bali menggunakan sistem patriarki yaitu semua tahapan dan proses pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria.

Menurut UU perkawinan no 1 thn 1974, sah tidaknya suatu perkawinan adalah sesuai menurut hukum dan agama masing masing.

Proses upacara adat pernikahan di Bali disebut �Mekala-kalaan (natab banten)". Pelaksaan upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang diadakan di halaman rumah sebagai titik sentral kekuatan Kala Bhucari yang dipercaya sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan.

Makalan-kalaan sendiri berasal dari kata Kala yang mengandung pengertian energi. Upacara mekala-kalaan ini mempunyai maksud untuk menetralisir kekuatan kala/energi yang bersifat buruk/negatif dan berubah menjadi positif/baik.

Adapun maksud dari upacara ini adalah sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih yang terkandung di dalam diri kedua mempelai.

Peralatan Mekala-kalaan dan symbol upacara adat perkawinan Bali

* Sanggah Surya
Sanggah Surya/bambu melekung merupakan niyasa (simbol) istana Sang Hyang Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi beremsimbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih dewi kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.

* Kelabang Kala Nareswari
Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)simbol calon pengantin yang diletakkan sebagai alas upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.

* Tikeh Dadakan (tiker kecil)
Tikeh Dadakan (tikar kecil) yang diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikar adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).

* Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

* Benang Putih
Benang Putih dibuatkan sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dariBrahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.

* Tegen � tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala.
Adapun Perangkat tegen-tegenan ini :
- Batang tebu berarti hidup pengantin mengandung arti kehidup dijalani secara bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
- Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma.
- Periuk simbol windhu.
- Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).
- Seekor yuyu/kepiting simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.

* Suwun-suwunan(sarana jinjingan)
Suwun-suwunan berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.

* Dagang-dagangan
Dagang-dagangan melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

* Sapu lidi
Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.

* Sambuk Kupakan
Sambuk Kupakan (serabut kelapa). Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.Telor bebek simbol manik. Kedua Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Ini mengandung pengertian Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

* Tetimpug
Tetimpug adalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.

Rangkaian tahapan upacara pernikahan adat Bali:

Upacara Ngekeb:

Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga dengan memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.

Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.

Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.

Mungkah Lawang (Buka Pintu):

Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi olehseorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.

Upacara Mesegehagung:

Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita, kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng

Madengen�dengen:

Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian

Mewidhi Widana:

Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan

Mejauman Ngabe Tipat Bantal:

Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan/menerima tamu. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah�buahan serta lauk pauk khas Bali.

Sumber : http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara
Gambar : http://www.undanganku.info/galeri/detail/4.htm

Monday, March 5, 2012

Tedhak Siten, ketika anak kali pertama menginjak tanah

Inilah salah satu tradisi masyarakat Jawa yang mulai digerus zaman. Tedhak Siten sendiri berasal dari kata Tedhak yang berarti menapakkan kaki atau langkah, dan Siten yang berasal dari kata siti berarti tanah. Maka, Tedhak Siten adalah turun (ke) tanah atau mudhun lemah. Lengkapnya, tradisi ini diperuntukkan bagi bayi berusia 7 lapan atau 7 x 35 hari (245 hari). Jumlah selapan adalah 35 hari menurut perhitungan Jawa berdasarkan hari pasaran, yaitu Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Pada usia 245 hari, si anak mulai menapakkan kakinya pertama kali di tanah, untuk belajar duduk dan belajar berjalan. Ritual ini menggambarkan kesiapan seorang anak (bayi) untuk menghadapi kehidupannya.

Biasanya, kesempatan bahagia ini harus diselenggarakan pada pagi hari, di bagian depan dari pekarangan rumah. Kecuali orang tua dan keluarga, beberapa orang tua juga hadir untuk memberikan berkat kepada anak. Yang diperlukan sajen / korban tidak boleh dilupakan. Semuanya ini melambangkan permintaan dan berdoa kepada Allah Maha Kuasa untuk menerima berkat dan perlindungan, untuk menerima berkat dari nenek moyang, untuk memberantas kejahatan dari perbuatan buruk manusia dan semangat. Upacara ritual Tedhak Siten dapat juga dilaksanakan dalam rangka dan keselamatan.

Tedhak Siten juga sebagai bentuk pengharapan orang tua terhadap buah hatinya agar si anak kelak siap dan sukses menampaki kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan dengan bimbingan orang tuanya. Ritual ini sekaligus sebagai wujud penghormatan terhadap siti (bumi) yang memberi banyak hal dalam kehidupan manusia.

Pada zaman dulu, masih banyak masyarakat Jawa yang melakukan ritual ini untuk anaknya. Sejumlah perlengkapan untuk ritual ini adalah Jadah (tetel) tujuh warna, jadah merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa muda dengan ditambahi garam agar rasanya gurih, warna jadah 7 rupa itu yaitu warna merah, putih, hitam, kuning, biru, jingga dan ungu. Makna yang terkandung dalam jadah ini merupakan simbol kehidupan yang akan dilalui oleh si anak, mulai dia menapakkan kakinya pertama kali di bumi ini sampai dia dewasa, sedangkan warna-warna tersebut merupakan gambaran dalam kehidupan si anak akan menghapai banyak pilihan dan rintangan yang harus dilaluinya. jadah 7 warna disusun mulai dari warna yang gelap ke terang, hal ini menggambarkan bahwa masalah yang dihadapi si anak mulai dari yang berat sampai yang ringan, maksudnya seberat apapun masalahnya pasti ada titik terangnya yang disitu terdapat penyelesaiannya.

Tumpeng dengan perlengkapannya, tumpeng merupakan nasi yang dibentuk seperti kerucut yang disajikan dengan urap sayur (hidangan yang terbuat dari sayur kacang panjang, kangkung dan kecampah yang diberi bumbu kelapa yang telah dikukus atau disangrai) dan ingkung ayam. Tumpeng melambangkan permohan orang tua kepada sang Maha Pencipta aga si anak kelak menjadi anak yang berguna, sayur kacang panjang bermakna simbol umur agar si anak berumur panjang, sayur kangkung bermakna dimanapun si anak hidup dia mampu tumbuh dan berkembang, sayur kecambah merupakan simbol kesuburan dan ayam mengartikan kelak si anak dapat hidup mandiri.

Kurungan ayam yang dihiasi janur dan kertas warna-warni, kurungan ayam ini isinya bukan ayam tapi anak manusia. kurungan ayam yang dihiasi mempunyai makna di dunia nyata si anak akan di hadapkan dengan berbagai macam pilihan pekerjaan.

Tangga yang terbuat dari tebu jenis arjuna, menyiratkan harapan agar si anak mampu berjuang layaknya Arjuna yang terkenal dengan tanggung jawabnya dan sifat perjuangannya. Dalam adat Jawa tebu kependekan dari antebing kalbu yang bermakna agar si anak dalam menjalani kehidupan ini dengan tekad yang kuat dan hati yang mantap.

Prosesi �Tedhak Siten� di awali dengan membimbing anak menapaki jadah 7 warna yang telah disusun berdasarkan warna gelap ke terang. Kemudian si anak diarahkan untuk menaiki tangga yang terbuat dari tebu arjuna, selanjutnya si anak di masukkan ke dalam kurungan ayam yang telah dihiasi dan di dalamnya terdapat cincin, alat tulis, kapas dan lain sebagainya, mungkin tergantung dengan perkembangan zaman. Kalau zaman sekarang ini bisa di masukkan barang-barang IT (HP,notenbook,PDA atau lainnya). Kemudian si anak di suruh mengambil salah satu dari barang tersebut, barang yang dipilih si anak merupakan gambaran dari kegemaran dan juga pekerjaan yang diminatinya kelak setelah dewasa.

Prosesi selanjutnya yaitu sebar beras kuning yang telah dicampur dengan uang logam untuk diperebutkan. Prosesi ini menggambarkan agar si anak kelak menjadi anak yang dermawan dalam lingkungannya. Prosesi terakhir yaitu si anak dimandikan dengan bunga setaman lalu mengenakan mengenakan baju yang baru. Tujuannya yaitu agar si anak tetap sehat, membawa nama harum bagi keluarga, punya kehidupan yang layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya.

Dalam acara �tedhak siten� sesaji yang biasa digunakan antara lain kembang boreh, bubur baro-baro, macam-maca bumbu dapur dan kinangan (bahan menginang). Bubur baro-baro adalah bubur yang terbuat dari bekatul, sesaji ini ditujukan untuk kakek nini among (plasenta/ari-ari). Sedangkan kembang boreh, macam-macam bumbu dapur dan kinangan, sesaji ini ditujukan untuk nenek moyang.

Selain sesaji juga ada pelengkap pedukung yaitu bubur merah, bubur putih bubur merah putih (sengkolo) yang melambangkan darah (=bubur merah) dan air mani (=bubur putih), kemudian ada juga jajanan pasar (jongkong, centil, grontol jagung, lopis, gatot dan tiwul) yang melambangkan dalam berkehidupan kita akan banyak berinteraksi dengan banyak orang dengan berbagai macam karakter sehingga si anak dapat mudah bersosialisasi dengan masyarakatnya. kamudian juga terdapat aneka pala pandem (aneka umbi-umbian) yang mempunyai makna agar si anak mempunyai sifat adap asor atau tidak sombong.

Setelah semua perlengkapan siap, maka ritual ini pun dimulai. Si anak dimandikan dengan air kembang setaman. Setelah memakai pakaian baru, sang anak dibimbing ibunya menginjak jadah (semacam nasi ketan tumbuk) 7 warna. Untuk selanjutnya sang anak dibimbing menaiki tangga yang dibuat dari tebu wulung berwarna ungu. Sang anak kemudian dimasukkan kedalam kurungan ayam berhias janur kuning dan hiasan lainnya. Dalam kurungan tersebut terdapat beberapa benda yang harus dipilih sang anak. Acara tersebut merupakan tradisi Jawa yang disebut Tedak Siten, peringatan di mana seorang anak mulai dilatih berjalan dengan menapakkan kedua kakinya di bumi.

Posisi beberapa bintang mempunyai pengaruh terhadap kelahiran seorang bayi. Perhitungan tahun matahari dibuat berdasarkan lamanya waktu bumi beredar mengelilingi matahari dengan masa 1 tahun. Tahun berdasar pengaruh matahari tersebut dirinci dalam bulan, minggu dan hari, dimana harinya berjumlah tujuh. Perhitungan kalender berdasar bulan dihitung berdasarkan lamanya waktu bulan mengelingi bumi yaitu 1 bulan. Satu tahun dalam kalender bulan ada 12 bulan dan tiap bulan dirinci menjadi pasar, pekan dan hari dimana 1 pasar ada 5 hari. Peringatan yang mendasarkan kombinasi posisi matahari dan bulan akan berulang setiap 7 x 5 hari.

Leluhur kita telah mengetahui bahwa posisi matahari dan bulan mempunyai pengaruh terhadap bumi. Seorang anak yang lahir pada weton, kelahiran tertentu mempunyai potensi tertentu. Dan weton, hari kelahiran yang berulang setiap 35 hari tersebut perlu dihormati. Bagi orang dewasa pada hari weton tersebut dibiasakan mengendalikan diri dengan cara puasa yang disebut puasa apit weton, yang dimulai sehari sebelum dan berakhir sehari sesudah weton. Puasa pada bulan purnama juga dilakukan karena pengaruh bulan purnama terhadap bumi dan diri manusia cukup besar. Demikian pula pada waktu gerhana, formasi matahari dan bulan akan mempunyai pengaruh khusus terhadap bumi dan manusia.

Sekedar catatan, pada tahun 1855, karena penanggalan bulan dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka kalender berdasarkan rasi bintang yang berpengaruh pada musim tanam yang disebut sebagai Pranata Mangsa, dikodifikasikan oleh Mangkunegara IV dan digunakan secara resmi. Contohnya adalah rasi bintang Waluku (Orion) sebagai tanda musim tanam. Sebenarnya Pranata Mangsa ini adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan pada jaman pra-Sultan Agung. Oleh Sri Paduka Mangkunagara IV tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan tarikh Kalender Gregorian yang merupakan kalender matahari.

Kembali ke Tedhak Siten, manusia mempunyai beberapa tahap perkembangan diri. Pertama, tahap bayi yang sangat tergantung terhadap ibu dan orang lain, bisanya hanya meminta. Tahap kedua adalah anak muda yang mandiri, bisa melakukan sendiri. Tahap ketiga adalah seorang yang dewasa, yang sudah sadar walau mandiri tetapi tidak egoistis dan menyadari bahwa seseorang mempunyai saling ketergantungan dengan orang lain, tidak bisa hidup sendiri. Awal dari tahap kedua dimulai, ketika seorang anak mulai belajar berjalan, sehingga apabila menginginkan sesuatu seorang anak sudah dapat mengambil sendiri tanpa minta pertolongan orang lain. Pada waktu berjalan, kedua kaki sang anak menapak langsung dengan bumi, tidak lagi dalam gendhongan seorang ibu. Kita hidup-mati berada di bumi, makan minum, rumah, kendaraan semua berasal dari bumi, maka kita perlu menghormati bumi.

Bayi lahir dengan naluri awal, naluri dasar, untuk makan. Apa saja yang dipegangnya akan dimasukkan mulut. Berlainan dengan kesadaran seorang anak manusia yang terus berkembang, kesadaran hewan tidak berkembang, yang ada dibenaknya hanya makan. Babi yang diberikan makanan basi dan permata, jelas memilih makanan yang basi. Wajarlah seorang Gusti Yesus bersabda, Jangan berikan permata kepada babi-babi! Pada waktu seorang anak berusia 7�35 hari, 245 hari, kira-kira 8 bulan, insting-naluri bawaan genetiknya masih ada, tetapi dalam perkembangan diri selanjutnya, insting bawaan akan terdorong ke dalam bawah sadar, tertutup oleh kegiatan-kegiatan baru. Pada saat anak berusia sekitar 8 bulan tersebut, potensi anak dapat diketahui. Di Tibet pada saat usia anak yang lebih tua, kepada beberapa anak yang diperkirakan menjadi reinkarnasi dari seorang Dalai Lama, akan diberikan beberapa benda yang merupakan milik Dalai Lama yang telah meninggal sebelumnya. Mereka yang dapat memilih dengan tepat, berdasar naluri, instingnya yang terbawa dari kehidupan lalu akan dipilih sebagai Dalai Lama yang baru. Konon, Tiga Orang Suci dari Timur datang ke Timur Tengah setelah melihat posisi rasi bintang dan untuk memverifikasi apakah yang anak yang lahir betul seorang Masiha dengan cara yang hampir sama. Bagi yang percaya, seseorang yang mati dan masih punya keterikatan dengan keduniawian, jiwanya masih akan meneruskan evolusi yang belum diselesaikan dalam kehidupannya. Dia akan lahir lagi mendapatkan orang tua, lingkungan yang menunjang evolusi jiwanya. Pemilihan beberapa benda dalam Tedak Siten seperti buku tulis, dompet, perhiasan, gunting, kitab sastra, ataupun alat bela diri, selaras dengan pengetahuan itu. Potensi anak akan nampak dengan jelas, sehingga orang tua paham bagaimana meningkatkan potensi anak sebaik-baiknya.

Pada dasarnya kita hidup di dunia, terkurung, terbelenggu oleh dunia. Dalam Tedhak Siten, dapat dilihat anak yang sebenarnya tidak senang dimasukkan ke dalam kurungan dan menangis minta pertolongan pada ibunya. Manusia yang sadar pun ingin kembali kepada Bunda Ilahi. Bagi penganut spiritual, baik harta, tahta ataupun ilmu pengetahuan adalah modal awal untuk membebaskan diri dari belenggu dunia. Seorang Guru datang untuk membebaskan diri manusia dari kurungan. Tetapi yang diharapkan manusia adalah Guru yang memberikan pengetahuan untuk hidup sukses dalam kurungan. Diri yang lepas dari kurungan dunia tidak berarti melarikan diri dari dunia, hanya tidak terikat dengan dunia. Hidup semata-mata hanya berupa persembahan, ibadah. Sepi dari Pamrih, keinginan dunia dan Rame ing Gawe, tetap berkarya sepanjang hidupnya.
Tentu saja ada makna dalam mandi kembang setaman dan menginjak jadah 7 warna, demikian pula dengan upacara yang dilakukan di alam terbuka dan lain sebagainya. Terima kasih para leluhur.

Sumber : http://kabarsoloraya.com/2009/07/17/tedak-siten-ketika-anak-kali-pertama-menginjak-tanah/

Saturday, March 3, 2012

Malam Midodareni; Prosesi Menjelang Akad Nikah

Menurut pernikahan adat jawa, Midodareni adalah sebuah prosesi menjelang acara panggih dan akad nikah. Midodareni sendiri berasal dari kata widodari yang dalam bahasa Jawa bermakna bidadari. Mitos yang berkembang di kalangan masyarakat jawa sendiri kenapa diadakannya acara prosesi Midodareni adalah karena konon pada malam itu para bidadari dari khayangan turun ke bumi dan bertandang ke rumah calon mempelai wanita guna ikut mempercantik dan menyempurnakan calon pengantin wanita.

Urut-urutan dari acara malam midodareni sendiri adalah sebagai berikut:

Jonggolan / Nyantri
Jonggolan / Nyantri adalah sowannya calon mempelai pria ke rumah calon mempelai wanita untuk beremu dengan orang tua dari calon mempelai wanita yang kelak akan menjadi mertuanya. Jonggolan sendiri berasal dari kata njonggol yang berarti menampakan diri. Mendapakan diri ini untuk menunjukkan kepada calon mertuanya bahwa sampai saat menjelang detik-detik akad nikah calon mempelai pria dalam keadaan sehat wal afiat dan telah mempunyai kemantapan hati untuk menikahi putrinya.

Pada acara jonggolan ini calon mempelai pria tidak datang beserta orang tuanya melainkan hanya didampingi oleh wakil dari keluarganya yang telah ditunjuk oleh keluarganya. Dalam jonggolan ini calon mempelai pria datang dengan membawa sebuah bingkisan yang berisi segala keperluan sehari-hari calon mempelai wanita yang di sebut dengan seserahan. Yang unik dari seserahan ini adalah segala yang diberikan kepada calon istrinya semuanya berjumlah ganjil. Dan uniknya lagi pada saat acara jonggolan ini sang calon mempelai pria yang datang ke rumah calon mempelai wanitanya hanya diperbolehkan sampai di beranda rumahnya dan diberi jamuan hanya berupa segelas air putih saja tanpa diperbolehkan sma sekali untu bertemu calon istrinya.

Tantingan
Setelah calon pengantin pria datang menunjukkan kemantapan hatinya dan diterima niatnya oleh keluarga calon pengantin wanita saatnya calon pengantin wanita (sekali lagi) ditanya oleh kedua orang tuanya tentang kemantapan hatinya. Pada malam midodareni calon pengantin wanita hanya diperbolehkan berada di dalam kamar pengantin. Dan yang dapat melihat hanya saudara dan tamu yang wanita saja. Para Gadis dan Ibu-ibu.Kedua orangtua mendatangi calon pengantin wanita di dalam kamar, menanyakan kemantapan hatinya untuk berumah tangga. Maka calon pengantin wanita akan menyatakan ikhlas menyerahkan sepenuhnya kepada orangtua.

Pembacaan dan Penyerahan Catur Wedha
Pembacaan catur wedha adalah pembacaan empat wejangan untuk mengarungi rumah tangga yang di bacakan oleh ayah dan ibu mempelai wanita kepada calon mempelai pria.

Wilujengan Majemukan
Setelah acara Pembacaan Catur Wedha selesai maka kemudian acara midodareni pun ditutup dengan acara Wilujengan Majemukan yaitu acara bertemunya kedua orang tua calon pengantin yang bermakna kerelaan keduanya untuk saling berbesanan. Dan barulah kemudian menjelang kepulangan calon mempelai pria beserta keluarganya sang ibu dari calon mempelai wanita ini menyerahkan angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan untuk dibawa pulang kepada keluarga calon mempelai pria.

Dan untuk mempelai prianya sendiri orang tua ini memberikan :

1. Kancing gelung
Kancing Gelung adalah sebutan untuk seperangkat pakaian yang harus dikenakan pada upacara panggih nanti.

2. Sebuah pusaka berbentuk dhuwung atau keris
Pusaka ini sendiri diserahkan kepada calon mempelai pria agar kelak ketika mereka telah resmi menjadi suami istri mampu untuk melindungi keluarga dan rumah tangganya.

Begitulah proses Malam Midodareni�

Sumber : http://budayanusantara.blogsome.com/2009/09/26/malam-midodareni-prosesi-menjelang-akad-nikah/